Jumat, 05 Desember 2008

STRATEGI INFORMASI PERPUSNAS RI

STRATEGI INFORMASI
PERPUSTAKAAN NASIONAL DALAM PENGEMBANGAN LITERASI INFORMASI DI MASYARAKAT

Oleh:
Ade Abdul Hak


Abstract
The role of National Library to develop information literacy in society is very important to extent that the institution is still being and needed by citizens. But, how to make this existence be proof, it has been homework for the institution to give them a clear vision and mission. Information Strategy is a concept to view the strength, weakness, opportunity, and treatment for planning, maintaning, managing and applying the institution’s information resources in supporting its essential knowledge base and all who contribute to it, with strategic intelligence, for achieving its key objectives that will be needed to make vision and mission in developing the information literacy.

Key Word: Information Strategy, Information Literacy, Perpustakaan RI



A. Pengantar

Sampai saat ini Perpustakaan Nasional dalam kontek kebangsaan Indonesia tetap menunjukan eksistensi dan keberperanannya secara konkrit dan nyata dalam multidimensi peran dan statusnya. Di dalam Perpustakaan Nasional RI, sekurang-kurangnya, terkandung empat dimensi peran dan status. Status utama dan pertamanya adalah keberadaannya sebagai pusat deposit nasional, pengemban Undang-Undang Nomor 4 tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Kedua sebagai pusat informasi nasional, ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya. Ketiga sebagai pusat pengembangan sistem perpustakaan dalam rangka pembina semua jenis perpustakaan; dan keempat sebagai pusat pengembangan dan pembinaan sumberdaya manusia di bidang perpustakaan, serta pusat hubungan dan kerja sama antarperpustakaan di dalam dan di luar negeri (Keppres Nomor 11 tahun 1989 tentang Perpustakaan Nasional).
Salah satu peran penting yang diemban Perpustakaan Nasional sebagai pusat hubungan dan kerja sama antar perpustakaan adalah sebagai koordinator Jaringan Informasi Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora (JIBIS & Humaniora). Jaringan ini dimaksudkan sebagai wadah komunikasi, berbagai informasi, dan kerja sama antar individu maupun lembaga yang bergerak di Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora, dan jaringan ini dibentuk atas prakarsa yang disepakati dalam workshop sistem jaringan dokumentasi dan informasi Indonesia yang diselenggarakan tahun 1971 di Bandung yang pada awalnya pengelolaannya ada dibawah koordinasi PDII-LIPI. Untuk sekarang pengelolaan jaringan ini merupakan tanggung jawab Perpustakaan Nasional RI, khususnya Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi. Adapun penyelenggaraan kegiatan dan administrasi jaringan dilaksanakan oleh Bidang Kerjasama Perpustakaan dan Otomasi (http://jibis.pnri.go.id/).
Menyadari akan tanggung jawabnya dengan mempertimbangkan eksistensi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) sebagai salah satu institusi yang turut menyumbang pembentukan bangsa, maka Perpusnas membuat kebijakan yang kondusif bagi masyarakat untuk membantu proses adaptasi dengan sumber-sumber informasi yang semakin hari semakin bertambah baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Salah satu program yang menjadi kebijakan Perpusnas tersebut adalah literasi informasi. Literasi informasi ini merupakan bagian dalam Rencana Induk Perpustakaan Nasional tahun 2006-2015 sebagaimana yang diungkapkan dalam sambutan Kepala Perpusnas RI pada acara seminar perpustakaan sekolah Indonesia tanggal 19 September 2006 di Jakarta (Rachmananta, 2006).
Sementara itu, kita juga tidak dapat menutup mata bahwa Perpusnas dengan segala permasalahannya masih menghadapi beberapa kendala untuk menyakinkan citranya sebagai tempat layanan yang dibutuhkan masyarakat. Perpustakaan Nasional mengalami nasib kurang lebih sama dengan persepsi masyarakat terhadap istilah perpustakaan pada umumnya. Perpustakaan Nasional bukanlah institusi populer, apalagi dianggap bermanfaat. Jika ‘diadu’ dengan keberadaan toko buku grup-grup perusahaan besar dan perpustakaan milik asing, citra Perpustakaan Nasional rasanya sudah pasti kalah dengan status “knock out” (Husein, 2006).
Melihat pada fakta di atas, lalu bagaimana dengan strategi Perpusnas dalam mengembangkan literasi informasi di masyarakat sebagaimana yang telah dicanangkan dalam Rencana Induknya tersebut? Untuk itu fokus penulisan artikel yang akan diuraikan di sini mencoba memberikan suatu alternatif strategi informasi yang perlu dilakukan Perpusnas dalam mengembangkan literasi informasi di masyarakat.

B. Literasi Informasi
Zurkowski (dalam Farida dkk., 2006: 23) adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah literasi informasi (Information Literacy) lebih dari 30 tahun yang lalu. Dia menggambarkan orang-orang yang ketika itu melek informasi sebagai orang-orang yang terdidik di dalam pengaplikasian sumber-sumber informasi terhadap pekerjaan mereka. Mereka belajar teknik-teknik dan keterampilan untuk memanfaatkan cakupan yang luas dari sarana informasi sebagaimana juga sumber-sumber utama dalam memecahkan permasalahan mereka.
Dengan kata lain, merujuk kepada salah satu definisi yang diberikan oleh UNESCO, maka arti literasi informasi adalah kemampuan mengidentifikasi, menemukan, mengevaluasi, mengorganisasikan dan menggunakan informasi tersebut secara efektif untuk menjawab dan membantu menyelesaikan masalah/isu sosial yang lebih luas (Hariyadi, 2005: 35).
The American Library Assiciation (1996) mendefinisikan literasi informasi sebagai istilah yang diterapkan terhadap keterampilan-keterampilan informasi untuk memecahkan masalah, yang terdiri dari tujuh keterampilan:
1. Mendefinisikan kebutuhan informasi, yaitu kemampuan seseorang dalam mengetahui bahwa pengetahuan yang dimilikinya tentang sesuatu subyek tertentu adalah tidak mencukupi. Namun dia sadar bahwa di sekelilingnya ada banyak sumber-sumber yang tersedia agar dapat memanfaatkan untuk memecahkan berbagai permasalahannya.
2. Menetapkan strategi pencarian, yaitu sebuah proses sebelum pencarian yang dengannya seseorang mampu mengorganisir data yang saat ini telah diketahuinya ke dalam beberapa kategori atau subyek, mengedentifikasi sumber-sumber yang berpotensi tentang bahan tambahan ke dalam kategori-kategori atau subyek ini dan menentukan kriteria untuk sumber-sumber yang potensial: keterkinian, format, dan sebagainya.
3. Mengumpulkan sumber-sumber, yaitu kemampuan seseorang dalam melakukan proses pengumpulan berbagai sumber yang diperlukan baik dalam bentuk tercetak dan non-cetak, online, dan komputerisasi, interview para pakar, permohonan dokumen-dokumen pemerintah yang cocok, konsultasi dengan para pustakawan dan para pakar lainnya untuk saran-saran tentang sumber-sumber tambahan yang diperlukan.
4. Menilai dan memahami informasi, yaitu proses mengorganisir dan menyaring. Kemampuan dalam menyaring dan meneliti kata kunci dan topik-topik terkait, mengevaluasi otoritas dari sumber-sumber, mengidentifikasi kesalahan-kesalahan, pandangan-pandangan, beberapa keberpihakkan (bias), dan kemudian kalau perlu, memperjelas kembali pertanyaan untuk pencarian informasi yang dibutuhkannya.
5. Menterjemahkan informasi melibatkan analisa, sintesa, evaluasi, dan pengorganisasian data terseleksi untuk penggunaan dan kemudian menarik sebuah kesimpulan dari semua yang terkait dengan penelitian tersebut.
6. Mengkomunikasikan informasi, yaitu berbagi informasi dengan cara memberikan manfaat kepada orang lain dari pertanyaan riset, dalam bentuk laporan, poster, grafik, atau yang lainnya.
7. Mengevaluasi produk prosesnya, yaitu melakukan evaluasi terhadap produk dan proses penelitian yang dilakukannya. Keterampilan dalam mengevaluasi tersebut akan dapat menentukan sejauh mana baiknya data yang diperoleh memenuhi apa yang menjadi tujuan dari pada suatu penelitian yang dikerjakannya.

C. Literasi Informasi dan Masyarakat

Melihat beberapa penjelasan mengenai literasi informasi di atas, dapat dikatakan bahwa literasi informasi merupakan kunci utama dari pembelajaran sepanjang hayat (long life education). Hal ini senada dengan pernyataan Abdelaziz Abid, Senior Programme Specialist, Communications and Information Sector of UNESCO, bahwa literasi informasi telah menjadi sebuah isu global, dimana telah banyak insiatif-inisiatif tentang literasi informasi yang telah terdokumentasikan di seluruh dunia. Literasi informasi membentuk pembelajaran sepanjang hayat. Program literasi informasi menjadi sesuatu yang “umum” bagi seluruh disiplin ilmu dan dalam proses pembelajaran pada seluruh level pendidikan (Brevik, 2006).
Program literasi informasi yang diterapkan secara kelembagaan atau sebagai program nasional yang dilakukan secara bersama, adalah sangat bermanfaat bagi masyarakat generasi selanjutnya. Kemampuan dalam memanfaatkan informasi sesuai dengan apa yang diperlukan bagi proses pembelajaran atau tujuan-tujuan lain dalam kehidupan, jelas akan meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat secara keseluruhan. Di tengah perkembangan global saat ini, bagaimanapun, sebagai anggota masyarakat pembelajaran harus terus mengupayakan untuk memperoleh berbagai pengetahuan baru dan mengembangkan keterampilan. Kesadaran masyarakat terhadap perlunya literasi informasi sangat terkait dengan pengakuan mereka bahwa berbagai keterampilan informasi yang dapat membantu memecahkan permasalahan adalah penting bagi semua orang.
Dalam era informasi tiap orang harus mempunyai alat atau sarana yang diperlukan untuk berhubungan dengan era informasi saat ini. Kita menyadari bahwa berbagai jenis sarana yang dipelajari dan digunakan orang tersebut akan membantu mereka dalam mengatasi berbagai permasalahan secara efektif dan efisien. Tanpa adanya pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan berbagai sarana informasi tersebut maka segala perkembangan informasi dan ilmu pengetahuan yang begitu cepat dan kompleks akan sulit diantisipasi oleh siapa saja (Farida dkk.,2006: 9).
Selanjutnya Farida dkk. (2006: 28) menjelaskan ada beberapa alasan kenapa kita perlu mempelajari literasi informasi, di antaranya adalah:
1. Banjir informasi. Pemrosesan informasi pada masyarakat saat ini bergerak secara terus menerus mengalami percepatan.
2. Informasi mempengaruhi seluruh aspek kehidupan baik untuk kepentingan pribadi ataupun profesional.
3. Tidak adanya editor khusus di internet yang menentukan layak atau tidaknya informasi di-upload ke sistem tersebut. Hal ini tentunya memerlukan sikap kritis dan mengevaluasi apakah informasi yang diakses adalah informasi yang akurat dan ditulis oleh orang yang ahli dalam bidangnya.
4. Hadirnya beragam online dan offline basis data disertai dengan ciri khusus. Masing-masing format tersebut mempunyai cara dan strategi yang berbeda dalam mengakses data-data yang tersimpan di dalamnya.
5. Perubahan paradigma pendidikan dimana sumber informasi tidak sebatas pada informasi yang diberikan oleh guru dan buku teks saja, tapi siswa dituntut untuk aktif di luar kelas dalam mencari informasi yang diperlukannya secara tepat.

Semua alasan di atas semakin menguatkan bahwa literasi informasi perlu diberikan pada semua lapisan masyarakat. Setidaknya segala upaya memasyarakatkan literasi informasi – khususnya bagi masyarakat tidak mampu dan anak-anak putus sekolah – yang dimotori oleh berbagai lembaga pendidikan dengan melibatkan berbagai pihak terkait perlu diadakan. Dengan upaya tersebut maka bukan mustahil dapat mengurangi kesenjangan informasi yang begitu jauh antara si Kaya dan si Miskin di Indonesia dalam memperoleh berbagai peluang dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengaktualisasikan pengetahuan mereka.

D. Peran Perpustakaan Nasional dalam Pengembangan Literasi Informasi di Masyarakat

Sebuah lembaga seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan berbagai potensi dan infrastrukturnya pada dasarnya mempunyai peranan yang sangat strategis dalam memberikan sumbangsihnya untuk melakukan suatu pembelaan bagi seluruh lapisan warga negara untuk memperoleh hak dalam mengakses informasi tentang berbagai sektor kehidupan termasuk bagi mereka anak-anak yang putus sekolah dan siswa yang tidak mampu secara ekonomi.
Kuhlthau (dalam Farida dkk, 2006: 3) menjelaskan bahwa anak-anak kita saat ini hidup, tumbuh, dan belajar di dalam lingkungan yang kaya informasi. Lingkungan pembelajaran ini menuntut semua individu berhubungan langsung maupun tidak dengan sejumlah besar informasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menilai secara kritis terhadap pengambilan keputusan dalam kehidupan pribadi mereka, pekerjaan mereka, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan diri mereka sebagai bagian dari warga negara. Para siswa akan memperpoleh manfaat atau keuntungan dari pengkasesan terhadap sejumlah besar informasi dari berbagai sumber yang tersebar luas di seluruh dunia. Selanjutnya Atkin (1998) mengungkapkan bahwa bagi orang dewasa sekalipun, ditengah-tengah lingkungan kaya informasi, sangat membutuhkan berbagai keterampilan informasi yang dapat diandalkan dan dapat digunakan untuk kebutuhan mereka. Orang dewasa juga bisa jadi akan merasa menderita yang membawa kepada suatu kefrustasian dan kekecewaan terhadap beban informasi yang berlebihan dengan tanpa memiliki keterampilan informasi yang memadai pada dirinya.
Bila demikian, maka peran apa yang dapat dilakukan Perpustakaan Nasional untuk mengatasi permasalahan dan kebutuhan literasi informasi di masyarakat kita. Dalam hal ini upaya untuk mempromosikan literasi informasi bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk mereka yang tidak mampu akan mencapai sasarannya apabila dilakukan secara bersama. Semua pihak harus terlibat aktif dalam program ini, dan sebagai lembaga negara, Perpustakaan Nasional RI sepatutnya dapat mengambil peran yang sangat besar dan kompeten untuk berperan sebagai koordinator program. Network atau jaringan kerja yang dimiliki Perpustakaan Nasional baik dalam lingkup nasional maupun internasional adalah salah satu potensi yang cukup diandalkan untuk dapat dimanfaatkan dalam rangka merealisasikan pencerdasan anak bangsa melalui program pengajaran literasi informasi bagi mereka.
Melalui program tersebut, masyarakat luas akan memperoleh semacam bekal atau modal berharga yang dapat dijadikan dasar untuk mampu mandiri dalam mengidentifikasi, menelusur, mengevaluasi dan menganalisa berbagai informasi yang tersebar dari berbagai macam sumber sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Kondisi demikian adalah inti dari konsep besar pendidikan seumur hidup (life long education) yang juga merupakan program besar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Diharapkan juga, dengan adanya penerapan program nyata pengajaran literasi ini akan lebih mendekatkan, khususnya, Perputakaan Nasional dengan para komunitas dan koleganya (Perpustakaan Umum Daerah, Diknas, dan Pemda setempat dengan masing-masing tingkatannya serta instansi-instansi lainnya). Peran Perpustakaan Nasional sebagai koordinator pelaksanaan program pengajaran literasi informasi ini, salah satunya, dapat dilaksanakan dengan cara berdampingan dengan pihak-pihak sekolah (perpustakaan sekolah). Sebagai contoh Perpustakaan Nasional bekerjasama dengan Asosiasi Pekerja Informasi Perpustakaan Sekolah Indonesia (APISI) dan Forum Perpustakaan Sekolah Indonesia (FPSI) mengadakan Seminar Perpustakaan Sekolah Indonesia dengan tema ”Peran Literasi Informasi dan Teknologi Informasi Komunikasi di Perpustakaan Sekolah dalam Menunjang Proses Pembelajaran”. Pada seminar tersebut diharapkan para kepala sekolah, yayasan sekolah, para pembuat keputusan sekolah dan instansi terkait lainnya, kepala perpustakaan, pustakawan serta pemerhati pendidikan sekolah untuk berpartisipasi dalam menunjang pendidikan di sekolah (Rachmananta, 2006).
Usaha-usaha yang telah dilakukan di atas diharapkan dapat ditingkatkan dan dilaksanakan secara berkelanjutan. Dalam hal ini Hariyadi (2005: 39) menyatakan bahwa keterlibatan Perpustakaan Nasional RI dalam program Keberaksaran Informasi (Literasi informasi) sangat diharapkan untuk ditingkatkan dan dilaksanakan secara berkelanjutan. Sesi-sesi penjelasan dan pemahaman bagi para Kepala Sekolah, Guru dan Pustakawan tentang pentingnya program ini perlu diadakan lebih sering dan lebih intensif.
Salah satu alasan perlunya peningkatan program ini dapat dilihat dari hasil cuplikan dan temuan rekomendasi hasil penelitian Diao Ai lien dan Titi Chandrawati yang menyimpulkan bahwa hasil survei terhadap 66 kepala sekolah, 199 guru dan 60 pustakawan yang bertanggung jawab di perpustakaan di wilayah Jakarta konsep keberaksaraan informasi belum sepenuhnya diterapkan, bahkan belum sepenuhnya dipahami. Diao antara lain mengusulkan kepada para kepala sekolah agar menetapkan kebijakan yang jelas dan eksplisit tentang pentingnya keberaksaraan informasi, dan secara konsisten mengartikulasikan visi, misi dan tujuan sekolah; misi dan tujuan perpustakaan sekolah harus selaras dengan kurikulum. Kepala sekolah juga perlu menghadiri seminar dan lokakarya tentang pentingnya perpustakaan sekolah sehingga diharapkan para kepala sekolah bisa aktif mendukung kegiatan perpustakaan. Kepala sekolah juga diharapkan memperhatikan peningkatan kemampuan para pustakawan sekolah dengan memberi kesempatan mengikuti pelatihan dan kursus penyegaran (Hariyadi: 2005, 39).

D. Strategi Informasi Perpustakaan Nasional RI dalam Pengembangan Literasi Informasi

Literasi informasi bukanlah sekedar mengajarkan masyarakat bagaimana cara mencari informasi, dan tentunya bukan pula mengajarkan bagaimana seseorang dapat menggunakan teknologi informasi untuk mendapatkan informasi dengan cepat. Tetapi dengan program literasi informasi setiap individu diharapkan dapat menerima dan mensiasati perubahan-perubahan dalam masyarakat global secara kritis, bijak, positif dan mampu memanfaatkan informasi yang dibutuhkannya menjadi pengetahuan baru yang akan memperkaya khasanah pengetahuan baik bagi dirinya maupun orang lain. Atau dengan kata lain, ia harus mampu menggunakan pengetahuan itu untuk membuat keputusan-keputusan positif bagi dirinya, bagi masyarakat sekitarnya dan bagi kemajuan lingkungan yang lebih luas.
Selanjutnya Perpusnas RI sebagai salah satu lembaga pemerintah yang mempunyai tugas atau tanggung jawab menyimpan semua hasil karya bangsa ini mempunyai kewajiban yang tidak bisa ditolak lagi untuk mendukung keberlanjutan pengembangan pengetahuan baik secara kualitas maupun kuantitas. Kalau kita mencoba melihat perkembangan serah terima simpan karya terbitan di Indonesia, walaupun masih dalam pertanyaan apakah data ini cukup mewakili atau tidak (belum semua penerbit secara sadar menyerahkan hasil terbitannya ke Perpusnas), paling tidak kita dapat tahu gambaran bahwa dari tahun ke tahun perkembangan perbukuan di Indonesia rata-rata tidak mengalami banyak perubahan, bahkan antara tahun 1998 sampai 2005 jumlah judul yang dihasilkan tidak sebanyak yang dihasilkan pada tahun 1996. Bisa dikatakan bahwa ternyata dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, jumlah judul buku yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia masih dibawah tahun produksi 1996.



Sumber: Perpustakaan Nasional RI (2007). http://www.pnri.co.id/

Melihat fakta di atas, sudah saatnya Perpusnas RI untuk berbenah diri dalam rangka meningkatkan sadar informasi bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia dengan jalan peningkatan program literasi informasi ini. Namun sebelum semua itu berjalan, Perpusnas RI perlu menyusun sebuah rencana strategis agar program yang akan dijalankannya dapat berjalan dengan baik dan sukses. Sebagai sebuah institusi atau organisasi yang bergelut dalam bidang informasi, maka Perpusnas perlu merumuskan rencana strategis yang akan dituangkan dalam strategi informasi sesuai dengan visi dan misi organisasinya. Strategi informasi akan menjadi sebuah kebijakan informasi yang berisi tujuan, sasaran dan kegiatan-kegiatan yang akan dicapai dalam periode yang telah ditentukan. Tujuan utamanya adalah untuk mengelola, menerapkan, dan memelihara sumber-sumber informasi, serta mendukung basis pengetahuan yang penting dengan sistem dan teknologi yang tepat (Abdul Hak, 2006).

Elizabeth Orna dalam Practical Information Policies: how to manage information flow in organization, seperti yang dikutip Henczel (2001: 10) mendefinisikan manajemen informasi strategis atau strategi informasi sebagai berikut:
“..the detailed expression of information policy in terms of objectives, targets and actions to achieve them, for a defined period ahead. Information strategy provides the framework for management of information. Information strategy, contained within the framework of an organizational information policy for information and supported by appropriate systems and technology, is the ‘engine’ for:
- maintaning, managing and applying the organization’s information resources;
- supporting its essential knowledge base and all who contribute to it, with strategic intelligence, for achieving its key business objectives.”

Dari definisi tersebut dijelaskan bahwa strategi informasi merupakan pernyataan terinci mengenai kebijakan informasi yang berisi tujuan-tujuan, sasaran-sasaran dan tindakan-tindakan yang telah ditentukan untuk dilaksanakan dalam periode ke depan. Strategi informasi merupakan sebuah ‘alat’ yang diterapkan di dalam kerangka sebuah kebijakan informasi organisasi yang didukung oleh sistem dan teknologi yang tepat untuk keperluan: pemeliharaan, pengelolaan dan penerapan sumber-sumber informasi organisasi; mendukung basis pengetahuan yang penting dan semua yang memberikan kontribusi terhadapnya.
Sejalan dengan Orna, Henczel (2001:11) menyatakan bahwa sebuah kebijakan informasi organisasi biasanya memberikan arahan baik bagi para pengelola maupun para pengguna informasi. Bagi para pengelola kebijakan informasi merupakan sebuah kerangka kerja yang berisi prinsip-prinsip organisasi yang berhubungan dengan informasi, penggunaannya dan pengelolaannya. Di antaranya menjamin pengalokasian sumber-sumber informasi penting dalam manajemen informasi. Sedangkan dari perspektif pengguna, kebijakan informasi merupakan sebuah jaminan bahwa organisasi mempunyai komitmen untuk menyediakan informasi yang dibutuhkannya.
Dengan adanya rencana strategi informasi ini diharapkan Perpusnas RI dapat meninjau kembali atau mengevaluasi secara menyeluruh efektivitas penggunaan sumber dan jasa informasi bagi para penggunanya, dan salah satu teknik evaluasi yang sedang berkembang dan menjadikan perbincangan yang hangat dikalangan professional informasi adalah information audit (audit informasi). Istilah audit informasi diperkenalkan oleh Elizabeth Orna dalam Practical information policies; how to manage information flow in organizations (1990) dan St. Clair Guy dalam Customer service in the information environment (1993), sebagai komponen yang terintegrasi dalam pengembangan kebijakan informasi terutama dalam rangka pengembangan strategi informasi. Proses audit informasi ini digambarkan sebagai cara yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan informasi organisasi, memetakan arus informasi dari dalam dan luar, mengembangkan komunikasi antara professional informasi dengan para pekerja, pemasaran layanan informasi dan pengembangan profil perpustakaan dalam organisasi (Henczel, 2001: 13)
Salah satu definisi mengenai audit informasi dari perspektif pengguna perpustakaan dinyatakan oleh Sharon LaRosa ( dalam Henzel, 2001), ia mendefinisikan audit informasi sebagai sebuah metode untuk mengeksplorasi dan menganalisa perpustakaan yang mempunyai ragam pengguna dalam melakukan kegiatannya secara strategis, dan menentukan peluang-peluang jasa dalam menghadapi para penggunanya. Audit informasi, yang timbul dari pertanyaan tentang dimana dan bagaimana para pengguna menemukan dan menggunakan informasi, memberikan perpustakaan pengertian yang lebih baik akan kebutuhan sekarang dan masa datang dari para penggunanya, dimana pada gilirannya akan menolong perpustakaan itu sendiri dalam menentukan arahan strategis yang paling tepat.
Lainnya halnya dengan Abell (2004: 1), ia menjelaskan bahwa audit informasi mengembangkan pemahaman tentang: dimana dan bagaimana informasi tercipta; arus, penggunaan dan penyumbatan informasi; kesenjangan dan duplikasi informasi; kualitas, pengaruh dan nilai informasi; bagaimana informasi dikelola untuk memenuhi kebutuhan yang legal dan kontekstual; pengaruh platform secara teknis dan budaya organisasi dalam penggunaan informasi; dan bagaimana informasi dikelola dan digunakan untuk mendukung tujuan-tujuan yang ada.
Mengacu kepada definisi-definisi di atas, selayaknya Perpusnas RI melakukan audit informasi terlebih dahulu sebagai langkah awal dalam menyusun strategi informasi dalam pengembangan program literasi informasi di masyarakat. Pelaksanaan audit informasi ini diharapkan dapat memetakan arus informasi dan bagaimana informasi tercipta di kalangan masyarakat. Selain itu, dengan pelaksanaan audit informasi ini, Perpusnas RI dapat memetakan penggunaan, penyumbatan, kesenjangan dan duplikasi informasi, kualitas dan pengaruh informasi di masyarakat, serta bagaimana informasi dikelola di lembaga-lembaga informasi yang ada di masyarakat. Informasi hasil audit ini akan memberikan data-data kekuatan informasi dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang sangat penting dalam menyusun strategi informasi Perpusnas RI dalam rencana pengembangan literasi informasi yang akan dilakukan.
Selain perlu dievaluasi seperti gambaran di atas, karena literasi informasi juga merupakan program yang masih baru atau masih belum begitu banyak dikenal pelaksanaannya di Indonesia, maka perlu didesain bersama antara Perpusnas dengan lembaga terkait lainnya agar pelaksanaannya mencapai target yang diharapkan. Beberapa langkah yang perlu dilakukan (Hariyadi, 2005: 38) di antaranya:
1. Membuat analisis awal dan kajian tentang bagaimana program keberaksaraan (literasi) informasi yang akan didesain dapat “sesuai” (fit) dalam masyarakat/lingkungan sekitar. Mendesain dan menerapkan program keberaksaraan informasi di suatu lingkungan yang tidak membutuhkan akan berpotensi kegagalan. Adanya kajian awal tentang kebutuhan ini sangat penting sebelum melangkah labih jauh lagi.
2. Mengidentifikasi dan menginventarisasi kebutuhan keberaksaraan informasi yang khas dan spesifik, serta mengidentifikasi “kekuatan” dari kelompok sasaran.
3. Menetapkan dengan jelas tujuan, sasaran dan hasil yang diharapkan dari penerapan program keberaksaraan informasi.
4. Mendesain setiap langkah dan tahapan program dengan pemakaian bahasa yang jelas, mudah dipahami dan tidak ambigu. Program keberaksaraan informasi pada umumnya terdiri dari beberapa paket/modul, mulai dari tingkat dasar sampai dengan tingkat mahir, sesuai dengan kebutuhan.
5. Menetapkan rangkaian standar penilaian dan evaluasi dari sejak level awal proses pembuatan program keberaksaraan informasi. Membuat kriteria tolak ukur kinerja siswa (peserta) setelah mengikuti program keberaksaraan informasi sangat penting dilakukan sejak awal.
6. Menyediakan kesempatan dan lingkungan untuk menjamin proses pembelajaran dan pemakaian keberaksaraan informasi secara berkesinambungan.
7. Menyampaikan program keberaksaraan informasi dengan medium yang sesuai dengan tujuan dan sasaran program.
8. Membuat evaluasi hasil penerapan program keberaksaraan informasi berdasarkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
9. Mengulang siklus pengembangan desain instruksional program keberaksaraan informasi dan merevisi program jika perlu sesuai dengan masukan-masukan dan hasil evaluasi.

E. Penutup

Menyikapi peranannya yang sangat strategis dalam pengembangan pengetahuan pada masyarakat Indonesia melalui program literasi informasi, maka Perpusnas RI sebagai koordinator dan pembina seluruh perpustakaan yang ada di Indonesia perlu segera menyusun rencana strategi informasi untuk mengembangkan program tersebut. Dengan adanya rencana strategi informasi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sebuah kebijakan nasional dan/atau panduan bagi seluruh jenis perpustakaan atau lembaga terkait lainnya yang ada di Indonesia dalam menjalankan program literasi informasi ini.
Untuk itu, Perpusnas RI hendaknya mengkoordinasi dan duduk bersama dengan lembaga-lembaga tersebut untuk menyusun strategi awal dalam pengembangan program literasi informasi bagi masyarakat Indonesia. Perpusnas RI juga harus berupaya agar proses tersebut dapat meningkatkan peran utamanya sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Keppres RI No. 11 tahun 1989. Di lain pihak, publik juga dapat dipenuhi, bukan saja kebutuhannya melainkan juga keinginan terhadap keberadaaan Perpustakaan Nasional berikut layanan yang disediakannya..Dengan demikian pada masa yang akan datang diharapkan tidak ada lagi istilah kata kesenjangan informasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Daftar Pustaka
Abdul Hak, Ade. (2006). Rencana Strategis dan Standar COBIT untuk Sistem Informasi Perpustakaan Terintegrasi dalam Mewujudkan Universitas Bertaraf Internasional. Jakarta: Universitas Indonesia, 2006. Tesedia di http://www.lib.ui.ac.id/files/Ade_Abdul_Hak.pdf. Diakses tanggal 9/8/2007.
Abell, Angela. (2004). Conducting an Information Audit. Tersedia di http://www.tfpl.com/assets/applets/conducting_an_audit.pdf%20.%20Diakses%20tgl.%2011/1/206
ALA American Library Association. (2005). Information Literacy Competency Standards for Higher Education. Tersedia di
www.ala.org/ala/acrl/acrlstandards/informationliteracycompetency
Atkin, L. (1998). Information overload and children: A survey of Texas elementary school students. School Library Media Quarterly Online. 1.
Breivik, Patricia dan Horton, Forest Woody. (2006). Information Literacy for all. IFLANET. Tersedia di http://www.ifla.org/III/wsis/info-lit-for-all.htm. diakses tanggal 8 Agustus 2007
Farida, Ida, d.k.k. (2006). Information literacy skills: dasar pembelajaran seumur hidup. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Hariyadi, Utami. (2005). Strategi melakukan keberaksaraan informasi di perpustakaan sekolah. Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan dan Kearsipan. Vol. 1 No. 2 (Juni 2005), hal. 34-40.
Henczel, Susan. (2001). The information audit: a practical guide. Munchen: Saur.
Husein, (2006). Menjajakan citra perpustakaan nasional dan pengembangan layanan bagi khalayak. http://duamata.blogspot.com/2006/08/menjajakan-citra-perpustakaan-nasional.html diakses tanggal 27 Juli 2007.
Rachmananta, Dadi P., (2006). Sambutan kepala perpustakaan nasional RI pada seminar perpustakaan sekolah Indonesia tanggal 19 dan 20 Setember 2006. http://www.pnri.go.id/ diakses tanggal 27 – 7 – 2007.



.