BEASISWA UNGGULAN UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA TAHUN AKADEMIK 2005-2006
Universitas Al Azhar, Jakarta memberikan beasiswa bagi calon mahasiswa S1 Teknik. ... [selengkapnya LIHAT DI http://www.uai.ac.id ATAU
http://www.indocommit.com/indexpage.html?menu=67&idnews=15 ]
Beasiswa S3 The Habibie Center
Yayasan Sumber Daya Manusia dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Yayasan SDM-IPTEK) didirikan oleh Prof. Dr.-Ing. B.J. Habibie (mantan presiden RI) pada tahun 1997. Badan pengurus yayasan ini diketuai oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ... [selengkapnya LIHAT DI www.habibiecenter.or.id ATAU http://www.indocommit.com/indexpage.html?menu=67&idnews=14]
Beasiswa PhD Ilmu Komputer
Universitas di Greenwich London UK, menawarkan sejumlah beasiswa PhD selama 3 tahun dalam bidang finite element analysis,computational fluid dynamics, optimization dan reliability modelling ... [selengkapnya LIHAT DI http://msp.cms.gre.ac.uk/ ATAU http://www.indocommit.com/indexpage.html?menu=67&idnews=13]
THE THIRD WORLD NETWORK OF SCIENTIFIC ORGANIZATIONS (TWNSO)
THE THIRD WORLD NETWORK OF SCIENTIFIC ORGANIZATIONS (TWNSO) ... [selengkapnya LIHAT DI http://www.indocommit.com/indexpage.html?menu=67&idnews=12]
International University of Japan
The International University of Japan (IUJ) didirikan pada tahun 1982 dengan dukungan yang besar dari perusahaan/industri, lembaga keuangan dan perhimpunan pendidikan Jepang, serta dari masyarakat local Urasa yang berlokasi di Niigata, Jepang. IUJ menawarkan dua program tingkat pascasarjana, yaitu The Graduate School of International Relations (GSIR) dan the Graduate School of Intermational Management (GSIM). ... [selengkapnya]
Wesleyan Freeman ASIAN Scholars Program
Beasiswa ini ditawarkan setiap tahun kepada siswa Indonesia yang berprestasi sangat tinggi untuk belajar di program Sarjana di Wesleyan University pada segala jurusan; untuk mendapatkan gelar Bachelor of Arts. ... [selengkapnya]
New Zealand’s International Aid & Development Agency (NZAID)
Setiap tahun NZAID menyediakan program beasiswa bagi para sarjana untuk mengikuti pendidikan di New Zealand. Beasiswa ini terbuka bagi para sarjana dari negara berkembang untuk belajar di bidang yang berhubungan dengan perkembangan negaranya. ... [selengkapnya]
Panasonic Scholarship 2006
Beasiswa Panasonic 2006 dibidang sains, teknik dan teknologi informasi di perguruan tinggi Jepang. ... [selengkapnya]
Singapore Technologies International Scholarship
Beasiswa Internasional Singapore Technologies terbuka bagi semua negara. Beasiswa ini diikuti oleh mahasiswa sarjana dari universitas terkenal di bidang teknik, teknologi informasi, ekonomi, hukum dan ilmu sains. ... [selengkapnya]
Magister Teknologi Informasi (MTI) UGM Studentship
Program Magister Teknologi Informasi (MTI) UGM menawarkan bantuan finansial melalui program studentship bagi para calon mahasiswa terpilih yang memiliki outstanding knowledge dan/atau skill dan bermotivasi besar untuk berkontribusi dalam pengembangan teknologi informasi di Indonesia pada umumnya. ... [selengkapnya]
Index > Karir > Beasiswa
Beasiswa Monbukagakusho 2006 Program Research Student (S2 & S3) Goverment to Goverment
Beasiswa Monbukagakusho 2006 Program Research Student (S2 & S3) Goverment to Goverment
... [selengkapnya LIHAT DI http://www.indocommit.com/indexpage.html?menu=67&idnews=6]
Beasiswa ASEA UNINET 2005
Dalam rangka program kerjasama antar-universitas ASEAN dengan universitas di beberapa negara Uni Eropa (ASEAN-European University Network), Dewan Pengembangan Riset dan Teknologi Austria menyediakan dana beasiswa untuk beberapa program.
... [selengkapnya LIHAT DI http://www.indocommit.com/indexpage.html?menu=67&idnews=5 ]
Deutscher Akademischer Austausch Dienst (DAAD) German Academic Exchange Services
DAAD menyediakan beasiswa belajar untuk lulusan perguruan tinggi di Indonesia dari berbagai disiplin ilmu. Beasiswa ini terbuka bagi staf pengajar pemula yang berkualitas dari universitas negeri dan swasta dan peneliti dari institusi penelitian atau lulusan S1 IKIP dari berbagai bidang studi yang memiliki pengalaman mengajar atau penelitian.
... [selengkapnya LIHAT DI http://www.indocommit.com/indexpage.html?menu=67&idnews=3 ]
Kamis, 06 Desember 2007
Rabu, 05 Desember 2007
USER EDUCATION
USER EDUCATION :
PERUBAHAN PRILAKU DAN KOMPETENSI INFORMASI
BAGI PARA PENGGUNA PERPUSTAKAAN MADRASAH ALIYAH
Oleh:
Ade Abdul Hak*
A. Latar Belakang
Perpustakaan merupakan unit yang mempunyai peran strategis dalam mendukung kegiatan pendidikan, termasuk di dalamnya bagi madrasah adalah sebagai salah satu unit penunjang kegiatan pembelajaran. Perpustakaan merupakan pusat dan sumber belajar serta sarana pembelajaran yang mempunyai tugas pokok dalam penyediaan, pengelolaan, dan pelayanan informasi bagi pengguna di lingkungan madrasah.
Dengan perannya yang strategis, perpustakaan perlu didukung oleh kemampuan teknik-teknik yang efesien dan efektif dalam penggunaan sarana (layanan) perpustakaan untuk memenuhi informasi yang dibutuhkan oleh pemakainya, karena kemampuan mencari informasi tidak kalah pentingnya dengan informasi itu sendiri. Permasalahannya bahwa ternyata masih banyak siswa yang belum tahu atau bahkan tidak mempunyai pengetahuan dasar teknik penggunaan perpustakaan yang dibutuhkannya. Mereka belum pernah mengenal pendidikan pemakai perpustakaan (user education), dan metode pembelajaran di kalangan guru pun tidak mengarah kepada penggunaan perpustakaan yang efektif dan efesien.
Permasalahan ini sekarang menjadi bertambah berat dengan adanya perkembangan pengetahuan yang semakin cepat. Suatu sisi para siswa, bahkan ada sebagian dosen, belum memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam menggali informasi yang ada di perpustakaan. Di sisi lain pertumbuhan pengetahuan semakin cepat seiring perkembangan teknologi dan informasi.
Melihat gambaran efektivitas penggunaan sarana penelusuran hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dalam “Profil Sumber Informasi Perpustakaan Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2001”, menunjukkan bahwa 58.5% pemakai perpustakaan tidak pernah menggunakan kartu katalog dalam pencarian informasi di perpustakaan, dan 39.4% yang kadang-kadang menggunakan dan kadang-kadang juga tidak. Pertama, mereka tidak tahu sama sekali fungsi alat bantu tersebut ; kedua, mereka tahu tetapi buku di rak tidak cocok dengan nomor panggil kartu ( keadaan buku tidak sesuai dengan urutan nomor klas) akibat ulah pemakai lain yang tidak tahu fungsi urutan “call number” pada buku dan kartu ; ketiga, mereka merasa lebih cepat melakukan “browsing” ke rak buku karena jumlah buku masih sedikit.
Kesimpulan penelitian itu menyatakan bahwa perlunya pembudayaan pendidikan pemakai perpustakaan sejak dini sebelum mereka memasuki perguruan tingggi agar mereka mempunyai bekal dalam memanfaatkan sarana perpustakaan secara efektif dan efesien. Pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan perpustakaan secara efektif dan efesien ini akan dijadikan pegangan dasar ke perpustakaan manapun mereka pergi, mereka dapat dengan mudah mencari informasi yang dibutuhkan.
B. Perubahan Prilaku Pengguna Perpustakaan
Hakikat prilaku pada dasarnya adalah segala sesuatu yang dikatakan atau dikerjakan seseorang.[1] Pendapat lain mengatakan bahwa prilaku adalah penampilan yang ditetapkan dalam suatu kejadian yang secara kebetulan dapat berfungsi untuk penguatan (reinforcement). Prilaku ini dapat dipelihara/ dipertahankan dalam periode yang cukup lama.[2]
Reinforcement artinya sesuatu yang diperkuat atau dipergunakan atau yang selalu diingat kembali. Dali Gulo seperti yang dikutip Sukardi mengatakan bahwa reinforcement ialah tindakan memperkuat dengan menambah sesuatu; setiap keadaan yang memperbesar kemungkinan suatu respons tertentu akan muncul kembali dalam situasi yang sama; dalam operant conditioning, merupakan prosedur eksperimental untuk segera menyertai sebuah respons dengan sebuah reinforcement dengan tujuan untuk memperkuat respons tersebut.[3]
Dalam kaitan ini maka perubahan prilaku dapat dilakukan melalui reinforcement kepada si subyek belajar yang dalam kesempatan kali ini adalah para pemakai perpustakaan di kalangan siswa madrasah aliyah yang mencari buku sumber ajar atau informasi sesuai dengan kebutuhan pembelajarannya.
Dengan menggunakan konsep dasar psikologis, khususnya dalam konteks pandangan behaviorisme, kita dapat menyatakan bahwa praktik pendidikan itu pada hakikatnya merupakan usaha conditioning ( penciptaan seperangkat stimulus) yang diharapkan pula menghasilkan pola-pola prilaku (seperangkat response) tertentu.[4] Sehingga keberadaan pendidikan pemakai bagi para siswa madrasah aliyah (pengguna perpustakaan) diharapkan dapat menghasilkan pola-pola prilaku prestasi belajar (achievment) dalam term-term pengetahuan (penalaran), sikap ( penghayatan) dan keterampilan (pengamalan) dalam menggunakan sarana perpustakaan secara efektif.
Indikator-indikator atau manifestasi dari perubahan dan perkembangan prilaku tersebut bisa berupa:
a. Pengetahuan, misalnya: dari yang tadinya tidak tahu penggunaan susunan klasifikasi untuk pengelolaan buku-buku atau koleksi lainnya menjadi tahu makna dan manfaatnya, sehingga dapat menggunakan katalog untuk penemuan kembali buku-buku yang dibutuhkan.
b. Sikap, misalnya: dari yang tadinya bersikap perpustakaan hanya sebagai tempat penyimpanan buku menjadi perpustakaan sebagai tempat untuk mencari informasi (sumber belajar), sehingga selalu datang ke perpustakaan untuk memenuhi segala kebutuhan informasinya baik itu yang berhubungan langsung dengan perkuliahannya maupun untuk keperluan informasi lainnya.
c. Keterampilan, misalnya: dari yang tadinya sering menyobek buku atau koleksi lainnya menjadi perhatian untuk memelihara keberadaannya dengan cara menjaga kerapihan dan menempatkan kembali sesuai dengan susunan klasifikasi atau “call number” buku di rak atau sarana perpustakaan lainnya.
Ragam prilaku yang ingin diperoleh sebagai hasil belajar tersebut meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan. Hal ini sejalan dengan Bloom yang mengklasifikasikan hasil belajar menjadi tiga ranah, yakni: kognitif, afektif dan psikomotor.[5]
Apakah arah ( positif, negatif, atau meragukan ) dari perubahan dan perkembangan itu serta kualifikasinya ( tinggi, sedang, rendah atau gagal/berhasil, memadai, tidak memadai, lulus atau tidak lulus, memuaskan atau tidak memuaskan, dapat diterima atau tidak, berdasarkan perangkat kriteria yang telah ditetapkan) jelas akan bergantung pada faktor (conditioning, pendidikan) di samping faktor (siswanya, pelajar).[6] Kontribusi pengaruh pendidikan pemakai pada penelitian kali ini secara teoritis akan mencoba melihat dari segi atau aspek apa yang diharapkan oleh pendidikan pemakai perpustakaan tersebut untuk setiap jenjangnya.
C. Kompetensi Informasi Pemakai Perpustakaan
Tidak dapat dipungkiri, bagaimanapun perpustakaan merupakan jantungnya sebuah lembga pendidikan. Perumpamaan perpustakaan sebagai sebuah jantung bagi suatu institusi pendidikan adalah mengidentifikasikan bahwa keberadaan perpustakaan begitu sangat penting dan berperan sekali untuk menunjang proses pendidikan, belajar mengajar dan penelitian. Oleh karenanya, para pemakai perpustakaan dituntut agar menguasai berbagai kompetensi informasi ( pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat menggunakan atau memanfaatkan berbagai fasilitas perpustakaan dengan efektif), terlebih dengan adanya ledakan informasi dan tuntutan kurikulum pada era globalisasi ini. Dalam hal ini Davies mengatakan, “learning how to use library is a basic component of ... (any) instructional programs”.[7]
Lebih jauh lagi Rice berpendapat dalam buku Teaching Library Use, bahwa:
“Education has always included a commitment to strong library collection and some instruction in its use. Morever, in recent years more and more educators and librarians at all levels have decided that every citizen should have basic skill in library research. The need for quick and current information is becoming perpasive in every human endevor. Students who don’t acquire essential library use competencies are now more likely to consider it major shortcomng in thier education.”[8]
Kesimpulannya adalah terampil menggunakan perpustakaan merupakan suatu hal yang perlu dipelajari, seperti yang dinyatakan oleh Tan Ngee Tiang bahwa “the ability to acquire these information skills, however are not innate. It must be conciously acquired”.[9]
Untuk mengetahui materi dan tujuan apa saja yang ingin dicapai dalam proses pendidikan pemakai ini, kita bisa melihat tingkatan atau jenjang pendidikan pemakai sebagaimana yang diklarifikasikan oleh Rice (1981).
1. Orientasi Perpustakaan.
Materi yang diajarkan berupa pengenalan terhadap perpustakaan secara umum, biasanya diberikan ketika siswa/mahasiswa baru memasuki suatu lembaga pendidikan bersangkutan, materinya antara lain:
- Pengenalan Gedung Perpustakaan.
- Pengenalan Katalog dan Alat Penelusuran lainnya.
- Pengenalan beberapa sumber bacaan termasuk bahan-bahan rujukan dasar.
Tujuan yang ingin dicapai:
Ø Mengenal fasilitas-fasilitas fisik gedung perpustakaan itu sendiri.
Ø Mengenal bagian-bagian layanan dan staf dari tiap bagian secara tepat.
Ø Mengenal layanan-layanan khusus seperti penelusuran melalui komputer, layanan peminjaman, dll.
Ø Mengenal kebijakan-kebijakan perpustakaan seperti prosedur menjadi anggota, jam-jam layanan perpustakaan, dll.
Ø Mengenal pengorganisasian koleksi dengan tujuan untuk mengurangi kebingungan pemakai dalam mencari bahan-bahan yang dibutuhkan.
Ø Termotivasi untuk datang kembali dan menggunakan sumber-sumber yang ada di perpustakaan.
Ø Terjalinnya komunikasi yang akrab antara pemakai dengan pustakawan.
2. Pengajaran Perpustakaan.
Materi yang diajarkan merupakan penjelasan lebih dalam lagi mengenai bahan-bahan perpustakaan secara spesifik, materinya antara lain:
- Teknik penggunaan indeks, katalog, bahan-bahan rujukan, dan alat-alat bibliografi.
- Penggunaan bahan atau sumber pustaka sesuai dengan masing-masing jurusan.
- Melaksanakan teknik-teknik penelusuran informasi dalam sebuah tugas penelitian atau pembuatan karya ilmiah lainnya.
Tujuan yang ingin dicapai:
Ø Dapat menggunakan pedoman pembaca untuk mencari bahan-bahan artikel.
Ø Dapat menemukan buku-buku yang berhubungan dengan subyek khusus melalui katalog.
Ø Dapat menggunakan bentuk mikro dan alat-alat baca lainnya secara tepat.
Ø Dapat menggunakan alat rujukan khusus seperti Ensiklopedi Britanica dan Who’s Who.
Ø Menemukan koleksi visual dan dapat menggunakannya.
Ø Mengetahui sumber-sumber yang tersedia di perpustakaan lain dan dapat melakukan permintaan peminjaman.
Ø Melakukan suatu penelusuran dalam layanan pengindeksan seperti pada Pusat Informasi Sumber Pendidikan dan dapat menemukan dan menggunakan hasil-hasil sitasi.
3. Pengajaran Bibliografi.
Materi yang diajarkan lebih condong sebagai langkah persiapan mengadakan atau sebagai dasar penelitian dalam rangka menyusun karya akhir. Pada level ketiga ini bisa ditawarkan melalui kuliah formal sebagai bagian dari perkuliahan, baik ada nilai kreditnya atau tidak.
Materi yang ingin dicapai antar lain:
- Informasi dan pengorganisasiannya.
- Tajuk subyek, “Vocabulary Control” dalam penelitian, dan definisi suatu topik penelitian.
- Macam-macam sumber untuk penelitian.
- Membuat kerangka teknik dan perencanaan suatu karya penelitian.
- Teknik-teknik membuat catatan dalam penelitian.
- Gaya, catatan kaki, rujukan dan sumber bahan bacaan.
- Strategi penelitian, kesempurnaan dalam penelitian, dan pemakaian yang tepat layanan koleksi yang diberikan perpustakaan.
- Membuat/menulis karya ilmiah.
D. Metode dan Teknik Pendidikan Pemakai Perpustakaan
Ada berbagai macam metode dan media untuk melaksanakan program-program pendidikan pemakai. Memilih metode dan media mana yang paling cocok tergantung kepada situasi belajar-mengajar itu sendiri, jadi tidak ada sebuah metode yang paling cocok untuk menunjang semua kegiatan pendidikan pemakai ini.
Kosterman menyarankan bahwa suatu metode pengajaran harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. dapat mengkomunikasikan tujuan-tujuan yang telah dibuat.
2. dapat membuat siswa tertarik untuk memperhatikan dan memotivasi mereka untuk perhatian penuh terhadap apa yang sedang diajarkan.
3. dapat mendorong siswa untuk ambil bagian dengan menolongnya mempersiapkan pelajaran – pelajaran.
4. dapat ditindaklanjuti.
5. dapat memberikan umpan balik untuk menguji efektivitas metode tersebut melalui indikator-indikator yang jelas.[10]
Sementara itu Hills seperti yang dikutip Fjallbrant menyebutkan ada empat faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih metode dan media pengajaran untuk pendidikan pemakai perpustakaan ini, antara lain:
1. Motivation
Pengajaran harus memberikan suatu motivasi yang tinggi, misalnya ketika siswa ingin menemukan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan atau pelajaran tertentu.
2. Activity
Kerja aktif dalam pembelajaran pemecahan masalah akan kelihatan lebih efektif daripada hanya sekedar menyebutkan atau menjelaskan suatu rangkaian pekerjaan.
3. Understanding
Pendidikan pemakai akan lebih efektif jika siswa memahami apa dan kenapa mereka mengerjakan hal demikian, jika hal ini merupakan permasalah yang baru dapat dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
4. Feedback
Umpan balik atau informasi perkembangan yang dibuat harus tersedia bagi para siswa.[11]
Ada beberapa teknik atau metode yang dapat digunakan dalam pendidikan pemakai , untuk keperluan penelitian kali ini pembahasan dibatasi hanya pada topik orientasi perpustakaan. Teknik-teknik tersebut antara lain: Ceramah atau Kuliah umum di Kelas, Wisata Perpustakaan, Penggunaan Audio Visual, Permainan dan Tugas Mandiri, Penggunaan Buku Pedoman atau Pamflet.
1. Ceramah atau Kuliah umum di Kelas
Penejelasan mengenai pengenalan dan pelayanan perpustakaan dapat diberikan di kelas dengan cara memberikan ceramah atau kuliah secara umum atau melalui demonstrasi. Idealnya jumlah peserta perkelas kurang lebih antara 15-30 orang. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam metode ini para peserta diberikan beberapa tugas terstruktur dan latihan yang memungkinkan mereka mampu menggunakan perpustakaan secara mandiri. Pelaksanaan metode ini selayaknya dapat dilakukan dengan metode wisata perpustakaan, agar peserta lebih memahami dan akrab dengan dunia perpustakaan yang sebenarnya.
2. Wisata Perpustakaan
Beberapa teknik yang bisa dilakukan dalam memandu wisata perpustakaan, antara lain:
- Menciptakan suasana yang bersahabat dan informal serta terbuka untuk beberapa pertanyaan.
- Usahakan berbicara tidak terlalu cepat dan sensitif terhadap kebingungan yang dialami pemakai.
- Gunakan sarana pembantu untuk memperjelas sesuatu yang didiskusikan, misal: penggunaan katalog.
- Buatlah para peserta berperan aktif untuk mencoba menggunakan fasilitas yang ada.
- Waktu yang digunakan tidak terlalu lama, maksimal 45 menit.
- Sediakan buku panduan yang dapat membantu mereka selama mengikuti wisata perpustakaan tersebut.
3. Penggunaan Audio Visual
Teknik ini biasanya dilakukan untuk wisata mandiri perindividual (perorangan), di antaranya adalah penggunaan kaset, televisi, slide, dll.
Pemakai perpustakaan dapat menjelajahi perpustakaan dengan mendengarkan instruksi yang direkam dalam kaset. Mereka dapat mematikan dan mengulang kaset tersebut sesuai dengan kemampuannya dalam memahami instruksi yang terdapat dalam kaset.
Orientasi perpustakaan dapat juga dilakukan melalui penggunaan televisi, para peserta dapat menyaksikan dan memperoleh penjelasan mengenai berbagai hal, seperti: fasillitas perpustakaan, pelayanan perpustakaan, dan fungsinya masing-masing.
Slide dapat digunakan dalam menerangkan lokasi, fasilitas dan pelayanan perpustakaan dengan memberikan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemandu atau rekaman suara.
4. Permainan dan Tugas Mandiri
Metode ini merupakan salah satu cara yang cukup efektif dalam mengajarkan bagaimana cara menemukan informasi yang dibutuhkan. Biasanya lebih sesuai diterapkan untuk pemakai perpustakaan usia anak Sekolah Dasar dan Menengah. Permainan sangat berguna dalam meningkatkan kemampuan anak sehingga mereka lebih dapat menikmati penggunaan perpustakaan. Biasanya metode ini dilakukan di tingkat lebih tinggi untuk menghilangkan kejenuhan yang mungkin ada ketika proses pembelajaran dengan metode lain berlangsung.
5. Penggunaan Buku Pedoman atau Pamflet
Teknik ini biasanya menuntut pemakai untuk mempelajari sendiri mengenal perpustakaan melalui berbagai keterangan yang ada pada buku panduan atau pamflet, dan biasanya diterapkan ketika peserta melaksanakan wisata perpustakaan.
Beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan ketika membuat buku pedoman atau pamflet untuk keperluan pendidikan pemakai ini, antara lain:
- Buatlah bahan tersebut sesingkat mungkin.
- Harus membuat pemakai jelas dalam melakukan hal yang berkenaan dengan penggunaan perpustakaan.
- Membuat pemakai kraetif.
Membuat langkah yang sederhana, dengan demikian pemakai dapat selangkah demi selangkah mencoba untuk memparaktekkannya di perpustakaan.
Daftar Pustaka
Bloom, Benjamin S., (1981). Taxonomy of Educational Objective, Handbook I Cognitive Domain. New York: Longman.
Davies. R.H. and Stimberling, (1973). Lifelong Education and the School. Hamburg: UNESCO Institute for education.
Fjallbrant, Nancy, (1978). User education libraries. London: Clive Bingley.
Kosterman, Wayne. (1978). “A Guide to library environment graphics.” Library Technology Reports. 14 (May-June 1978): 269-95
Makmun, Abin Syamsudin, (2001). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya.
Martin, Garry and Joseph Pear, (1992). Behavior Modification. New Jersey: Prentice Hall.
Rice, James, (1981).Teaching Library Use: A Guide for library Instruction. London: Greenwood Press.
Sukardi, Dewa Ketut, (1983). Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional.
Tan Ngee Tiang, (1996). Promotion Information Skill in Primary School. Article in Proceeding Paper in CONSAL. Kuala Lumpur: CONSAL Authority Board and Authors.
* Pustakawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[1] Martin, Garry and Joseph Pear, (1992). Behavior Modification. New Jersey: Prentice Hall. Hal. 3
[2] Pervin, Lawrence A. and Oliver F. John, (1997). Personality Theory and Research. USA: John Wiley & Son inc. Hal. 322-323.
[3] Sukardi, Dewa Ketut, (1983). Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional. Hal. 23.
[4] Makmun, Abin Syamsudin, (2001). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya. Hal. 27.
[5] Bloom, Benjamin S., (1981). Taxonomu of Educational Objective, Handbook I Cognitive Domain. New York: Longman. Hal. 7
[6] Makmun, Abin Syasudin, (Op.Cit). Hal. 28
[7] Davies. R.H. and Stimberling, (1973). Lifelong Education and the School. Hamburg: UNESCO Institute for education. Hal. 39
[8] Rice, James, (1981).Teaching Library Use: A Guide for library Instruction. London: Greenwood Press. Hal. 3
[9] Tan Ngee Tiang, (1996). Promotion Information Skill in Primary School. Article in Proceeding Paper in CONSAL. Kuala Lumpur: CONSAL Authority Board and Authors.
[10] Diterjemahkan dari Kosterman, Wayne. (1978). “A Guide to library environment graphics.” Library Technology Reports. 14 (May-June 1978): 269-95.
[11] Terjemahan bebas dari Fjallbrant, Nancy, (1978). User education libraries. London: Clive Bingley. Hal. 33
PERUBAHAN PRILAKU DAN KOMPETENSI INFORMASI
BAGI PARA PENGGUNA PERPUSTAKAAN MADRASAH ALIYAH
Oleh:
Ade Abdul Hak*
A. Latar Belakang
Perpustakaan merupakan unit yang mempunyai peran strategis dalam mendukung kegiatan pendidikan, termasuk di dalamnya bagi madrasah adalah sebagai salah satu unit penunjang kegiatan pembelajaran. Perpustakaan merupakan pusat dan sumber belajar serta sarana pembelajaran yang mempunyai tugas pokok dalam penyediaan, pengelolaan, dan pelayanan informasi bagi pengguna di lingkungan madrasah.
Dengan perannya yang strategis, perpustakaan perlu didukung oleh kemampuan teknik-teknik yang efesien dan efektif dalam penggunaan sarana (layanan) perpustakaan untuk memenuhi informasi yang dibutuhkan oleh pemakainya, karena kemampuan mencari informasi tidak kalah pentingnya dengan informasi itu sendiri. Permasalahannya bahwa ternyata masih banyak siswa yang belum tahu atau bahkan tidak mempunyai pengetahuan dasar teknik penggunaan perpustakaan yang dibutuhkannya. Mereka belum pernah mengenal pendidikan pemakai perpustakaan (user education), dan metode pembelajaran di kalangan guru pun tidak mengarah kepada penggunaan perpustakaan yang efektif dan efesien.
Permasalahan ini sekarang menjadi bertambah berat dengan adanya perkembangan pengetahuan yang semakin cepat. Suatu sisi para siswa, bahkan ada sebagian dosen, belum memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam menggali informasi yang ada di perpustakaan. Di sisi lain pertumbuhan pengetahuan semakin cepat seiring perkembangan teknologi dan informasi.
Melihat gambaran efektivitas penggunaan sarana penelusuran hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dalam “Profil Sumber Informasi Perpustakaan Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2001”, menunjukkan bahwa 58.5% pemakai perpustakaan tidak pernah menggunakan kartu katalog dalam pencarian informasi di perpustakaan, dan 39.4% yang kadang-kadang menggunakan dan kadang-kadang juga tidak. Pertama, mereka tidak tahu sama sekali fungsi alat bantu tersebut ; kedua, mereka tahu tetapi buku di rak tidak cocok dengan nomor panggil kartu ( keadaan buku tidak sesuai dengan urutan nomor klas) akibat ulah pemakai lain yang tidak tahu fungsi urutan “call number” pada buku dan kartu ; ketiga, mereka merasa lebih cepat melakukan “browsing” ke rak buku karena jumlah buku masih sedikit.
Kesimpulan penelitian itu menyatakan bahwa perlunya pembudayaan pendidikan pemakai perpustakaan sejak dini sebelum mereka memasuki perguruan tingggi agar mereka mempunyai bekal dalam memanfaatkan sarana perpustakaan secara efektif dan efesien. Pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan perpustakaan secara efektif dan efesien ini akan dijadikan pegangan dasar ke perpustakaan manapun mereka pergi, mereka dapat dengan mudah mencari informasi yang dibutuhkan.
B. Perubahan Prilaku Pengguna Perpustakaan
Hakikat prilaku pada dasarnya adalah segala sesuatu yang dikatakan atau dikerjakan seseorang.[1] Pendapat lain mengatakan bahwa prilaku adalah penampilan yang ditetapkan dalam suatu kejadian yang secara kebetulan dapat berfungsi untuk penguatan (reinforcement). Prilaku ini dapat dipelihara/ dipertahankan dalam periode yang cukup lama.[2]
Reinforcement artinya sesuatu yang diperkuat atau dipergunakan atau yang selalu diingat kembali. Dali Gulo seperti yang dikutip Sukardi mengatakan bahwa reinforcement ialah tindakan memperkuat dengan menambah sesuatu; setiap keadaan yang memperbesar kemungkinan suatu respons tertentu akan muncul kembali dalam situasi yang sama; dalam operant conditioning, merupakan prosedur eksperimental untuk segera menyertai sebuah respons dengan sebuah reinforcement dengan tujuan untuk memperkuat respons tersebut.[3]
Dalam kaitan ini maka perubahan prilaku dapat dilakukan melalui reinforcement kepada si subyek belajar yang dalam kesempatan kali ini adalah para pemakai perpustakaan di kalangan siswa madrasah aliyah yang mencari buku sumber ajar atau informasi sesuai dengan kebutuhan pembelajarannya.
Dengan menggunakan konsep dasar psikologis, khususnya dalam konteks pandangan behaviorisme, kita dapat menyatakan bahwa praktik pendidikan itu pada hakikatnya merupakan usaha conditioning ( penciptaan seperangkat stimulus) yang diharapkan pula menghasilkan pola-pola prilaku (seperangkat response) tertentu.[4] Sehingga keberadaan pendidikan pemakai bagi para siswa madrasah aliyah (pengguna perpustakaan) diharapkan dapat menghasilkan pola-pola prilaku prestasi belajar (achievment) dalam term-term pengetahuan (penalaran), sikap ( penghayatan) dan keterampilan (pengamalan) dalam menggunakan sarana perpustakaan secara efektif.
Indikator-indikator atau manifestasi dari perubahan dan perkembangan prilaku tersebut bisa berupa:
a. Pengetahuan, misalnya: dari yang tadinya tidak tahu penggunaan susunan klasifikasi untuk pengelolaan buku-buku atau koleksi lainnya menjadi tahu makna dan manfaatnya, sehingga dapat menggunakan katalog untuk penemuan kembali buku-buku yang dibutuhkan.
b. Sikap, misalnya: dari yang tadinya bersikap perpustakaan hanya sebagai tempat penyimpanan buku menjadi perpustakaan sebagai tempat untuk mencari informasi (sumber belajar), sehingga selalu datang ke perpustakaan untuk memenuhi segala kebutuhan informasinya baik itu yang berhubungan langsung dengan perkuliahannya maupun untuk keperluan informasi lainnya.
c. Keterampilan, misalnya: dari yang tadinya sering menyobek buku atau koleksi lainnya menjadi perhatian untuk memelihara keberadaannya dengan cara menjaga kerapihan dan menempatkan kembali sesuai dengan susunan klasifikasi atau “call number” buku di rak atau sarana perpustakaan lainnya.
Ragam prilaku yang ingin diperoleh sebagai hasil belajar tersebut meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan. Hal ini sejalan dengan Bloom yang mengklasifikasikan hasil belajar menjadi tiga ranah, yakni: kognitif, afektif dan psikomotor.[5]
Apakah arah ( positif, negatif, atau meragukan ) dari perubahan dan perkembangan itu serta kualifikasinya ( tinggi, sedang, rendah atau gagal/berhasil, memadai, tidak memadai, lulus atau tidak lulus, memuaskan atau tidak memuaskan, dapat diterima atau tidak, berdasarkan perangkat kriteria yang telah ditetapkan) jelas akan bergantung pada faktor (conditioning, pendidikan) di samping faktor (siswanya, pelajar).[6] Kontribusi pengaruh pendidikan pemakai pada penelitian kali ini secara teoritis akan mencoba melihat dari segi atau aspek apa yang diharapkan oleh pendidikan pemakai perpustakaan tersebut untuk setiap jenjangnya.
C. Kompetensi Informasi Pemakai Perpustakaan
Tidak dapat dipungkiri, bagaimanapun perpustakaan merupakan jantungnya sebuah lembga pendidikan. Perumpamaan perpustakaan sebagai sebuah jantung bagi suatu institusi pendidikan adalah mengidentifikasikan bahwa keberadaan perpustakaan begitu sangat penting dan berperan sekali untuk menunjang proses pendidikan, belajar mengajar dan penelitian. Oleh karenanya, para pemakai perpustakaan dituntut agar menguasai berbagai kompetensi informasi ( pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat menggunakan atau memanfaatkan berbagai fasilitas perpustakaan dengan efektif), terlebih dengan adanya ledakan informasi dan tuntutan kurikulum pada era globalisasi ini. Dalam hal ini Davies mengatakan, “learning how to use library is a basic component of ... (any) instructional programs”.[7]
Lebih jauh lagi Rice berpendapat dalam buku Teaching Library Use, bahwa:
“Education has always included a commitment to strong library collection and some instruction in its use. Morever, in recent years more and more educators and librarians at all levels have decided that every citizen should have basic skill in library research. The need for quick and current information is becoming perpasive in every human endevor. Students who don’t acquire essential library use competencies are now more likely to consider it major shortcomng in thier education.”[8]
Kesimpulannya adalah terampil menggunakan perpustakaan merupakan suatu hal yang perlu dipelajari, seperti yang dinyatakan oleh Tan Ngee Tiang bahwa “the ability to acquire these information skills, however are not innate. It must be conciously acquired”.[9]
Untuk mengetahui materi dan tujuan apa saja yang ingin dicapai dalam proses pendidikan pemakai ini, kita bisa melihat tingkatan atau jenjang pendidikan pemakai sebagaimana yang diklarifikasikan oleh Rice (1981).
1. Orientasi Perpustakaan.
Materi yang diajarkan berupa pengenalan terhadap perpustakaan secara umum, biasanya diberikan ketika siswa/mahasiswa baru memasuki suatu lembaga pendidikan bersangkutan, materinya antara lain:
- Pengenalan Gedung Perpustakaan.
- Pengenalan Katalog dan Alat Penelusuran lainnya.
- Pengenalan beberapa sumber bacaan termasuk bahan-bahan rujukan dasar.
Tujuan yang ingin dicapai:
Ø Mengenal fasilitas-fasilitas fisik gedung perpustakaan itu sendiri.
Ø Mengenal bagian-bagian layanan dan staf dari tiap bagian secara tepat.
Ø Mengenal layanan-layanan khusus seperti penelusuran melalui komputer, layanan peminjaman, dll.
Ø Mengenal kebijakan-kebijakan perpustakaan seperti prosedur menjadi anggota, jam-jam layanan perpustakaan, dll.
Ø Mengenal pengorganisasian koleksi dengan tujuan untuk mengurangi kebingungan pemakai dalam mencari bahan-bahan yang dibutuhkan.
Ø Termotivasi untuk datang kembali dan menggunakan sumber-sumber yang ada di perpustakaan.
Ø Terjalinnya komunikasi yang akrab antara pemakai dengan pustakawan.
2. Pengajaran Perpustakaan.
Materi yang diajarkan merupakan penjelasan lebih dalam lagi mengenai bahan-bahan perpustakaan secara spesifik, materinya antara lain:
- Teknik penggunaan indeks, katalog, bahan-bahan rujukan, dan alat-alat bibliografi.
- Penggunaan bahan atau sumber pustaka sesuai dengan masing-masing jurusan.
- Melaksanakan teknik-teknik penelusuran informasi dalam sebuah tugas penelitian atau pembuatan karya ilmiah lainnya.
Tujuan yang ingin dicapai:
Ø Dapat menggunakan pedoman pembaca untuk mencari bahan-bahan artikel.
Ø Dapat menemukan buku-buku yang berhubungan dengan subyek khusus melalui katalog.
Ø Dapat menggunakan bentuk mikro dan alat-alat baca lainnya secara tepat.
Ø Dapat menggunakan alat rujukan khusus seperti Ensiklopedi Britanica dan Who’s Who.
Ø Menemukan koleksi visual dan dapat menggunakannya.
Ø Mengetahui sumber-sumber yang tersedia di perpustakaan lain dan dapat melakukan permintaan peminjaman.
Ø Melakukan suatu penelusuran dalam layanan pengindeksan seperti pada Pusat Informasi Sumber Pendidikan dan dapat menemukan dan menggunakan hasil-hasil sitasi.
3. Pengajaran Bibliografi.
Materi yang diajarkan lebih condong sebagai langkah persiapan mengadakan atau sebagai dasar penelitian dalam rangka menyusun karya akhir. Pada level ketiga ini bisa ditawarkan melalui kuliah formal sebagai bagian dari perkuliahan, baik ada nilai kreditnya atau tidak.
Materi yang ingin dicapai antar lain:
- Informasi dan pengorganisasiannya.
- Tajuk subyek, “Vocabulary Control” dalam penelitian, dan definisi suatu topik penelitian.
- Macam-macam sumber untuk penelitian.
- Membuat kerangka teknik dan perencanaan suatu karya penelitian.
- Teknik-teknik membuat catatan dalam penelitian.
- Gaya, catatan kaki, rujukan dan sumber bahan bacaan.
- Strategi penelitian, kesempurnaan dalam penelitian, dan pemakaian yang tepat layanan koleksi yang diberikan perpustakaan.
- Membuat/menulis karya ilmiah.
D. Metode dan Teknik Pendidikan Pemakai Perpustakaan
Ada berbagai macam metode dan media untuk melaksanakan program-program pendidikan pemakai. Memilih metode dan media mana yang paling cocok tergantung kepada situasi belajar-mengajar itu sendiri, jadi tidak ada sebuah metode yang paling cocok untuk menunjang semua kegiatan pendidikan pemakai ini.
Kosterman menyarankan bahwa suatu metode pengajaran harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. dapat mengkomunikasikan tujuan-tujuan yang telah dibuat.
2. dapat membuat siswa tertarik untuk memperhatikan dan memotivasi mereka untuk perhatian penuh terhadap apa yang sedang diajarkan.
3. dapat mendorong siswa untuk ambil bagian dengan menolongnya mempersiapkan pelajaran – pelajaran.
4. dapat ditindaklanjuti.
5. dapat memberikan umpan balik untuk menguji efektivitas metode tersebut melalui indikator-indikator yang jelas.[10]
Sementara itu Hills seperti yang dikutip Fjallbrant menyebutkan ada empat faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih metode dan media pengajaran untuk pendidikan pemakai perpustakaan ini, antara lain:
1. Motivation
Pengajaran harus memberikan suatu motivasi yang tinggi, misalnya ketika siswa ingin menemukan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan atau pelajaran tertentu.
2. Activity
Kerja aktif dalam pembelajaran pemecahan masalah akan kelihatan lebih efektif daripada hanya sekedar menyebutkan atau menjelaskan suatu rangkaian pekerjaan.
3. Understanding
Pendidikan pemakai akan lebih efektif jika siswa memahami apa dan kenapa mereka mengerjakan hal demikian, jika hal ini merupakan permasalah yang baru dapat dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
4. Feedback
Umpan balik atau informasi perkembangan yang dibuat harus tersedia bagi para siswa.[11]
Ada beberapa teknik atau metode yang dapat digunakan dalam pendidikan pemakai , untuk keperluan penelitian kali ini pembahasan dibatasi hanya pada topik orientasi perpustakaan. Teknik-teknik tersebut antara lain: Ceramah atau Kuliah umum di Kelas, Wisata Perpustakaan, Penggunaan Audio Visual, Permainan dan Tugas Mandiri, Penggunaan Buku Pedoman atau Pamflet.
1. Ceramah atau Kuliah umum di Kelas
Penejelasan mengenai pengenalan dan pelayanan perpustakaan dapat diberikan di kelas dengan cara memberikan ceramah atau kuliah secara umum atau melalui demonstrasi. Idealnya jumlah peserta perkelas kurang lebih antara 15-30 orang. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam metode ini para peserta diberikan beberapa tugas terstruktur dan latihan yang memungkinkan mereka mampu menggunakan perpustakaan secara mandiri. Pelaksanaan metode ini selayaknya dapat dilakukan dengan metode wisata perpustakaan, agar peserta lebih memahami dan akrab dengan dunia perpustakaan yang sebenarnya.
2. Wisata Perpustakaan
Beberapa teknik yang bisa dilakukan dalam memandu wisata perpustakaan, antara lain:
- Menciptakan suasana yang bersahabat dan informal serta terbuka untuk beberapa pertanyaan.
- Usahakan berbicara tidak terlalu cepat dan sensitif terhadap kebingungan yang dialami pemakai.
- Gunakan sarana pembantu untuk memperjelas sesuatu yang didiskusikan, misal: penggunaan katalog.
- Buatlah para peserta berperan aktif untuk mencoba menggunakan fasilitas yang ada.
- Waktu yang digunakan tidak terlalu lama, maksimal 45 menit.
- Sediakan buku panduan yang dapat membantu mereka selama mengikuti wisata perpustakaan tersebut.
3. Penggunaan Audio Visual
Teknik ini biasanya dilakukan untuk wisata mandiri perindividual (perorangan), di antaranya adalah penggunaan kaset, televisi, slide, dll.
Pemakai perpustakaan dapat menjelajahi perpustakaan dengan mendengarkan instruksi yang direkam dalam kaset. Mereka dapat mematikan dan mengulang kaset tersebut sesuai dengan kemampuannya dalam memahami instruksi yang terdapat dalam kaset.
Orientasi perpustakaan dapat juga dilakukan melalui penggunaan televisi, para peserta dapat menyaksikan dan memperoleh penjelasan mengenai berbagai hal, seperti: fasillitas perpustakaan, pelayanan perpustakaan, dan fungsinya masing-masing.
Slide dapat digunakan dalam menerangkan lokasi, fasilitas dan pelayanan perpustakaan dengan memberikan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemandu atau rekaman suara.
4. Permainan dan Tugas Mandiri
Metode ini merupakan salah satu cara yang cukup efektif dalam mengajarkan bagaimana cara menemukan informasi yang dibutuhkan. Biasanya lebih sesuai diterapkan untuk pemakai perpustakaan usia anak Sekolah Dasar dan Menengah. Permainan sangat berguna dalam meningkatkan kemampuan anak sehingga mereka lebih dapat menikmati penggunaan perpustakaan. Biasanya metode ini dilakukan di tingkat lebih tinggi untuk menghilangkan kejenuhan yang mungkin ada ketika proses pembelajaran dengan metode lain berlangsung.
5. Penggunaan Buku Pedoman atau Pamflet
Teknik ini biasanya menuntut pemakai untuk mempelajari sendiri mengenal perpustakaan melalui berbagai keterangan yang ada pada buku panduan atau pamflet, dan biasanya diterapkan ketika peserta melaksanakan wisata perpustakaan.
Beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan ketika membuat buku pedoman atau pamflet untuk keperluan pendidikan pemakai ini, antara lain:
- Buatlah bahan tersebut sesingkat mungkin.
- Harus membuat pemakai jelas dalam melakukan hal yang berkenaan dengan penggunaan perpustakaan.
- Membuat pemakai kraetif.
Membuat langkah yang sederhana, dengan demikian pemakai dapat selangkah demi selangkah mencoba untuk memparaktekkannya di perpustakaan.
Daftar Pustaka
Bloom, Benjamin S., (1981). Taxonomy of Educational Objective, Handbook I Cognitive Domain. New York: Longman.
Davies. R.H. and Stimberling, (1973). Lifelong Education and the School. Hamburg: UNESCO Institute for education.
Fjallbrant, Nancy, (1978). User education libraries. London: Clive Bingley.
Kosterman, Wayne. (1978). “A Guide to library environment graphics.” Library Technology Reports. 14 (May-June 1978): 269-95
Makmun, Abin Syamsudin, (2001). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya.
Martin, Garry and Joseph Pear, (1992). Behavior Modification. New Jersey: Prentice Hall.
Rice, James, (1981).Teaching Library Use: A Guide for library Instruction. London: Greenwood Press.
Sukardi, Dewa Ketut, (1983). Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional.
Tan Ngee Tiang, (1996). Promotion Information Skill in Primary School. Article in Proceeding Paper in CONSAL. Kuala Lumpur: CONSAL Authority Board and Authors.
* Pustakawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[1] Martin, Garry and Joseph Pear, (1992). Behavior Modification. New Jersey: Prentice Hall. Hal. 3
[2] Pervin, Lawrence A. and Oliver F. John, (1997). Personality Theory and Research. USA: John Wiley & Son inc. Hal. 322-323.
[3] Sukardi, Dewa Ketut, (1983). Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional. Hal. 23.
[4] Makmun, Abin Syamsudin, (2001). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya. Hal. 27.
[5] Bloom, Benjamin S., (1981). Taxonomu of Educational Objective, Handbook I Cognitive Domain. New York: Longman. Hal. 7
[6] Makmun, Abin Syasudin, (Op.Cit). Hal. 28
[7] Davies. R.H. and Stimberling, (1973). Lifelong Education and the School. Hamburg: UNESCO Institute for education. Hal. 39
[8] Rice, James, (1981).Teaching Library Use: A Guide for library Instruction. London: Greenwood Press. Hal. 3
[9] Tan Ngee Tiang, (1996). Promotion Information Skill in Primary School. Article in Proceeding Paper in CONSAL. Kuala Lumpur: CONSAL Authority Board and Authors.
[10] Diterjemahkan dari Kosterman, Wayne. (1978). “A Guide to library environment graphics.” Library Technology Reports. 14 (May-June 1978): 269-95.
[11] Terjemahan bebas dari Fjallbrant, Nancy, (1978). User education libraries. London: Clive Bingley. Hal. 33
AUDIT INFORMASI
AUDIT INFORMASI:
SEBUAH KONSEP ANALISIS KEBUTUHAN INFORMASI
DALAM PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI
MANAJEMEN PERPUSTAKAAN
Oleh:
Ade Abdul Hak
A. Pendahuluan
Informasi adalah salah satu aset yang sangat penting yang dimiliki oleh sebuah organisasi. Pengelolaan informasi sebagai aset atau sumber daya organisasi ini (seperti halnya sumber daya manusia dan keuangan) tentunya sangat penting dilakukan untuk memenuhi kebutuhan informasi manajemen baik secara strategis maupun operasional. Salah satu strategi dalam pengelolaan informasi untuk kebutuhan manajemen ini adalah pengembangan sistem informasi manajemen atau lebih dikenal dengan istilah SIM.
Pengembangan SIM dalam sebuah organisasi tidak terlepas dari adanya perubahan-perubahan dalam bidang teknologi informasi dan telekomunikasi yang terjadi pada saat ini. Sebagai contoh dukungan integrasi informasi ke dalam sebuah jaringan yang dapat diakses dari sektor-sektor masyarakat secara umum maupun pribadi (OICT, 2005: 3), ternyata telah mempengaruhi kegiatan internal SIM yang ada dalam sebuah organisasi. Selain itu, perubahan-perubahan kebiasaan cara mencari informasi oleh para pengguna akhir (end-user), berkembang pesatnya produk-produk informasi dalam berbagai macam format, dan cara penyampaian jasa yang berorientasi kepada kepuasan pengguna menuntut organisasi untuk mengkaji ulang sistem informasi yang telah dikembangkan sebelumnya.
Kajian ulang terhadap aset-aset dan kebutuhan informasi bagi para stakeholder dalam rangka mencari model sistem yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pengguna tersebut merupakan salah satu komponen dalam siklus hidup pengembangan sistem informasi. Pada siklus hidup pengembangan sistem informasi ini, tiap-tiap bagian dari pengembangan sistem dapat terdiri dari beberapa tahapan kerja yang mempunyai karakteristik sendiri. Tahapan kerja ini biasanya dimulai dari tahap perencanaan sistem, analisa sistem, desain sistem, seleksi sistem, implementasi sistem, dan perawatan sistem (Hartono, 1999: 41). Seperti yang disinyalir oleh Nurwono (1994) sistem informasi dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan organisasi masing-masing, oleh karena itu untuk dapat menerapkan sistem informasi yang efektif dan efisien, diperlukan perencanaan, pelaksanaan, pengaturan, dan evaluasi sesuai dengan keinginan dan nilai masing-masing organisasi.
Salah satu kegiatan analisa sistem ini adalah mendefinisikan kebutuhan informasi. Analisa kebutuhan informasi bagi para stakeholder dapat dilakukan dengan beberapa metode pengumpulan informasi, antara lain: wawancara perorangan atau kelompok fokus, pengamatan (observasi), dan pencarian catatan (dokumentasi). Penerapan metode-metode ini dipadukan dalam sebuah tahapan pengumpulan data yang sistematis. Kemudian tahapan ini diikuti oleh kegiatan analisa dan evaluasi data sampai kepada tersedianya rumusan-rumusan rekomendasi untuk pengembangan sistem tersebut. Proses tersebut merupakan sebuah evaluasi sistematis terhadap kebutuhan dan penggunaan informasi yang tercipta dengan sebuah pembuktian yang ditunjukan oleh pengguna dan dokumen-dokumen yang ada untuk memperkuat keberadaannya dalam memberikan konstribusi bagi tujuan-tujuan organisasi. Selanjutnya proses ini dikenal dengan istilah audit informasi (Henczel, 2001: xxii).
Audit informasi dilakukan untuk memahami bagaimana sebuah lingkungan informasi (dalam hal ini sistem informasi manajemen sebuah organisasi) tepat sesuai dengan misi dan visi organisasi. Dengan dilakukan audit informasi terhadap kebutuhan dan penggunaan informasi pada sistem yang berjalan, maka akan diketahui informasi-informasi apa yang perlu dihasilkan sebagai keluaran (output) dari sistem yang akan dikembangkan tersebut. Pada akhirnya pelaksanaan audit informasi ini akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi sebagai bahan masukan dalam merumuskan sebuah kebijakan informasi tentang pengembangan sistem informasi manajemen bagi organisasi bersangkutan.
B. Informasi dan Kebutuhan Informasi Manajemen
Memahami arti, sifat dan ciri-ciri informasi merupakan persyaratan awal dalam penerapan audit informasi dalam sebuah organisasi. Davis (1998: 28) menegaskan bahwa istilah informasi dapat mengenai data mentah, data tersusun, kapasitas sebuah saluran komunikasi, atau yang lainnya sesuai dengan pendekatan disiplin ilmu yang menerapkannya. Informasi dapat memperkaya penyajian, mempunyai nilai kejutan, atau mengungkap sesuatu yang penerimanya tidak tahu atau tidak tersangka. Dalam dunia yang tidak menentu, informasi mengurangi ketidakpastian. Ia mengubah kemungkinan-kemungkinan hasil yang diharapkan dalam sebuah situasi keputusan dan karena itu mempunyai nilai dalam proses keputusan.
Buckland (seperti yang dikutip Marchionini, 1998: 5) membedakan informasi sebagai proses (kegiatan komunikasi), informasi sebagai pengetahuan (menambah atau mengurangi ketidakpastian), dan informasi sebagai suatu benda (objek-objek yang mungkin memberikan informasi). Dalam hal ini Marchionini (1998:5) menyimpulkan bahwa informasi adalah sesuatu yang disalurkan dari seseorang atau benda ke dalam sebuah sistem pengetahuan penerimanya, dan sebagai komponen internal dalam fikiran orang tersebut. Sedangkan Gray (seperti yang dikutip Ramjaun, 2000: 2) menjelaskan bahwa informasi adalah sesuatu yang dibutuhkan seseorang untuk diketahui dan diterapkan dalam melaksanakan pekerjaannya agar sesuai dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya baik oleh orang itu sendiri maupun oleh organisasinya.
Davis (1999: 28) memberikan definisi secara umum untuk istilah informasi dalam pemakaian sistem informasi. Informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang. Definisi ini menekankan kenyataan bahwa data harus diproses dengan cara-cara tertentu untuk menjadi informasi dalam bentuk dan nilai yang berguna bagi pemakainya. Dengan demikian seorang pemakai informasi dapat bertindak atau mengambil keputusan tertentu secara pasti berdasarkan informasi yang dimilikinya.
Dalam hal kebutuhan informasi untuk manajemen, masing-masing tingkat manajemen akan menggunakan bentuk informasi sesuai dengan keperluan masing-masing. Karena itu terdapat bermacam-macam pengelompokan informasi. Pada gambar berikut ini diperlihatkan secara kontras segi bisnis suatu informasi secara berkesinambungan dengan manajemen lini atas (strategis) di satu sisi dan manajemen lini bawah (teknis) di sisi lain. Manajemen lini tengah (taktis), sebagaimana biasa, selalu berada di antara keduanya dengan bentuk informasi yang berada di antara kedua bentuk tingkatan tersebut (Amsyah, 1997: 289). Faktor-faktor dominan yang membedakan kebutuhan informasi dalam gambar tersebut adalah pada manajemen tingkat atas bentuk informasi biasanya tidak terstruktur, masa depan dan eksternal. Sedangkan pada manajemen tingkat bawah bentuk informasi terstruktur, sudah terjadi dan internal.
Gambar 1. Dimensi bisnis suatu informasi (Sumber: Amsyah, 1997: 290)
Kita ambil contoh pekerjaan seorang Kepala Bagian (Kabag) pengadaan bahan pustaka di perpustakaan perguruan tinggi sebagai manajemen tingkat bawah. Ia ingin memonitor informasi mengenai permintaan koleksi (buku) oleh pengguna dalam subyek tertentu. Karena informasinya terstruktur, maka daftar permintaan buku berdasarkan subyek tersebut dapat diprogramkan. Peraturan-peraturan, prosedur-prosedur, dan cara penyampaian permintaannya dapat dibuat untuk keperluan pengadaan koleksi perpustakaan agar segalanya secara efektif dan efisien dapat dicapai sesuai dengan informasi yang sudah diketahuinya. Lain halnya dengan pekerjaan Kepala Perpustakaan, ia harus menentukan subyek apa yang akan diprioritaskan untuk dibeli untuk tahun anggaran yang akan datang. Ia membutuhkan informasi tambahan dari fungsi kegiatan lainnya, seperti data sirkulasi dan pemeliharaan untuk menentukan kebijakan pengembangan koleksi yang akan dibuatnya.
Dengan contoh di atas terlihat bahwa untuk pekerjaan manajemen lini bawah sistem informasinya lebih mudah diprogramkan dengan komputer dibandingkan dengan informasi untuk manajemen lini atas. Bentuk tanggung jawab manajemen lini atas yang meliputi masalah perencanaan strategis dengan sifat informasinya yang tidak terstruktur memang sulit untuk diprogramkan. Informasi untuk keperluan perencanaan (lini atas) lebih berorientasi pada masa depan, karena itu tidak sekonkret bila dibandingkan dengan informasi untuk keperluan manajemen lini bawah (Amsyah, 1997: 291).
Informasi yang dibutuhkan oleh unit-unit kerja dari semua tingkat kegiatan sampai ketingkat pengguna jasa organisasi sebagai bahan komunikasi organisasi akan diolah, digunakan dan disaring kemudian disalurkan sesuai dengan tingkatan dalam organisasi, seperti gambar di bawah ini. Gambar tersebut menunjukkan arus informasi dalam organisasi dari manajer lini atas (level 1) sebagai tingkat strategis, sampai ke lini bawah (level 4) sebagai tingkatan yang paling bawah di mana para pekerja langsung berhadapan dengan para pengguna. Hal ini menunjukkan bagaimana arus informasi dalam organisasi naik dan turun sesuai dengan jenjang dan tingkatannya (Henczel, 2001: 7). Untuk tiap-tiap tingkatan manajemen, tipe informasi yang dibutuhkan akan berbeda. Pada manajemen tingkat bawah, tipe informasinya adalah terinci (detail), karena informasi utama digunakan untuk pengendalian operasi. Sedangkan untuk manajemen yang lebih tinggi tingkatannya, tipe informasinya adalah semakin tersaring atau lebih ringkas (Hartono, 1999: 26).
Gambar 2. Penyaringan informasi ke level atas dalam tingkatan organisasi[u1]
(Gambar diadopsi dari: Henczel, 2001: 7).
C. Sistem Informasi
Untuk mendukung proses manajemen informasi seperti digambarkan di atas dibutuhkan sistem informasi (SI) yang menjadi poros untuk mengalirkan informasi dengan lancar agar proses-proses itu dapat berlangsung secara berkesinambungan dan teratur. Oetomo (2002: 11) mendefinisikan sistem informasi (SI) sebagai kumpulan elemen yang saling berhubungan satu sama yang lain yang membentuk satu kesatuan untuk mengintegrasikan data, memproses dan menyimpan serta mendistribusikan informasi. Dengan kata lain, SI merupakan kesatuan elemen-elemen yang saling berinteraksi secara sistematis dan teratur untuk menciptakan dan membentuk arus informasi yang akan mendukung pembuatan keputusan dan melakukan kontrol terhadap jalannya perusahaan
Dengan kata lain sistem informasi adalah suatu sistem di dalam sebuah organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian, mendukung operasi, bersifat manajerial dan kegiatan strategis dari suatu organisasi dan menyediakan pihak tertentu dengan informasi yang diperlukan.
Secara sederhana sistem informasi terdiri dari input, proses dan output seperti yang ilustrasikan pada gambar berikut ini. Sistem informasi menerima masukan data dan instruksi, mengolah data tersebut sesuai instruksi, dan mengeluarkan sesuai dengan instruksi.
Gambar 3. Transformasi data menjadi informasi (Sumber: Davis, 1999: 91)
Model dasar sistem ini cocok bagi kasus sistem pengolahan informasi yang paling sederhana di mana semua masukan tiba pada saat bersamaan. Namun hal ini jarang terjadi dan biasanya dalam sistem informasi sering membutuhkan data yang telah disimpan dan diolah pada periode sebelumnya. Karena itu ditambahkan komponen sistem informasi lainnya, yaitu sebuah penyimpanan data (data storage), dan untuk maksud pengendalian dapat ditambahkan suatu sistem pengendalian umpan balik dalam sistem informasi tersebut (Davis, 1999: 91).
Gambar 4. Model Penerapan Sistem Informasi (Sumber: Laudon, 1995: 7)
Dalam sistem tersebut terdapat hubungan umpan balik dengan kedua elemen, yaitu input dan output. Input berupa data yang dimasukan melalui alat input (seperti: keybord atau unit kerja) yang akan diproses dengan metode-metode tertentu dan akan menghasilkan output berupa informasi. Informasi yang dihasilkan dapat berupa laporan (report) atau solusi dari proses yang telah dijalankan (Herlambang dan Tanuwijaya, 2005: 47).
Laudon & Laudon (1995: 5) memberikan penjelasan bahwa input merupakan proses penangkapan atau pengumpulan sumber-sumber data dari dalam dan luar organisasi, processing sebagai proses pengkonversian data yang di-input ke dalam bentuk yang lebih tepat dan berguna, dan output sebagai proses penyaluran informasi yang sudah diproses untuk orang-orang atau kegiatan-kegiatan yang memerlukannya. Sistem informasi juga menyimpan informasi dalam berbagai macam bentuk hingga informasi tersebut dibutuhkan. Sedangkan feedback atau umpan balik merupakan output yang dikembalikan pada anggota organisasi yang tepat untuk membantunya mengoreksi pada tahapan input.
D. Pengembangan Sistem Informasi
Pada dasarnya sistem informasi dapat merupakan tata kelola informasi secara manual atau berbasis komputer. Namun dalam perkembangan selanjutnya sistem informasi selalu berhubungan dengan teknologi informasi, khususnya teknologi komputer. Pengembangan sistem informasi berbasis komputer dapat merupakan tugas komplek yang membutuhkan banyak sumber daya dan dapat memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menyelesaikannya. Oetomo (2002: 12) menjelaskan bahwa membangun sistem informasi bukan sekedar mengotomasi prosedur lama, tetapi menata dan memperbaharui bahkan menciptakan arus data yang baru yang lebih efisien, menetapkan prosedur pengolahan data yang baru secara tepat, sistematis, dan sederhana, menentukan model penyajian yang informatif dan standar, serta distribusi yang efektif. Proses pengembangan sistem ini biasanya melewati beberapa tahapan mulai dari sistem itu direncanakan sampai dengan sistem tersebut diterapkan, dioperasikan dan dipelihara dalam sebuah siklus hidup sistem.
Tahapan utama siklus hidup sistem ini terdiri dari tahapan perencanaan sistem, analisa sistem, desain sistem, seleksi sistem, implementasi sistem dan perawatan sistem (lihat gambar 5). Sebenarnya ada beberapa model siklus pengembangan sistem yang telah berkembang sejak tahun 70an – 90an seperti yang telah dijelaskan oleh Hartono (1999). Di antara 18 contoh model siklus pengembangan sistem yang disajikannya, hanya tiga model yang secara tegas menjelaskan tentang identifikasi kebutuhan-kebutuhan informasi dalam tahapan analisa sistemnya. Ketiga model tersebut dikembangkan oleh Joseph W. Wilkinson tahun 1982, Gordon B. Davis tahun 1985 dan Robert H. Blistmer tahun 1985.
Gambar 5. Siklus hidup pengembangan sistem (Sumber: Hartono, 1999: 41).
Wilkinson (seperti yang dikutip Hartono,1999: 52) menjelaskan bahwa ada beberapa pendekatan untuk mengembangkan sistem, yaitu: 1). Pendekatan klasik lawan pendekatan terstruktur (dipandang dari metodologi yang digunakan); 2). Pendekatan sepotong lawan pendekatan sistem (dipandang dari sasaran yang akan dicapai); 3). Pendekatan bawah-naik lawan pendekatan atas-turun (dipandang dari cara menentukan kebutuhan dari sistem); 4). Pendekatan sistem-menyeluruh lawan pendekatan moduler (dipandang dari cara mengembangkannya); dan 5). Pendekatan lompat jauh lawan pendekatan berkembang (dipandang dari teknologi yang akan digunakan).
Selanjutnya Wilkinson (Ibid: 58) menjelaskan bahwa salah satu pendekatan yang melihat kepada kebutuhan informasi organisasi adalah pendekatan bawah-naik (bottom-up approach) dan pendekatan atas-turun (top-down approach). Pada pendekatan bawah-naik pelaksanaan dimulai dari level bawah opersional di mana transaksi di lakukan. Pendekatan ini dimulai dari perumusan kebutuhan-kebutuhan untuk menangani transaksi dan naik ke level atas dengan merumuskan kebutuhan informasi berdasarkan transaksi tersebut. Sedangkan pada pendekatan atas turun pelaksanaan dimulai dengan mendefinisikan sasaran dan kebijakan organisasi. Langkah selanjutnya adalah dilakukannya analisa kebutuhan informasi. Setelah kebutuhan informasi ditentukan, maka proses selanjutnya turun ke pemrosesan transaksi untuk menentukan output, input, basis data, prosedur-prosedur operasi dan kontrol.
Keberadaan sistem informasi dalam meningkatkan kesehatan arus informasi sebuah organisasi perlu ditindaklanjuti dengan membangun suatu sistem informasi manajemen (SIM) yang integral dan terpadu. Oetomo (2002: 167) menjelaskan bahwa SIM akan menolong perusahaan-perusahaan dalam mengintegrasikan data, mempercepat dan mensistematiskan pengolahan data, meningkatkan kualitas informasi dan kontrol manajemen, mendorong terciptanya produk-produk baru, meningkatkan layanan dan kontrol, mengotomasi sebagian pekerjaan rutin, dan menyederhanakan alur kerja.
Davis (1999: 3) memberikan definisi SIM sebagai sebuah sistem manusia/mesin yang terpadu (integrated) untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasi, manajemen, dan pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi. Sejalan dengan definisi Davis ini, Mc Leod (seperti yang dikutip Oetomo,2002: 168) memberikan definisi SIM sebagai suatu sistem berbasis komputer yang menyediakan informasi bagi beberapa pemakai yang mempunyai kebutuhan serupa. Informasi menjelaskan perusahaan atau salah satu sistem utamanya mengenai apa yang telah terjadi sekarang dan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Informasi tersebut tersedia dalam bentuk laporan periodik, laporan khusus dan output dari simulasi matematika. Informasi digunakan oleh pengelola maupun staf lainnya pada saat mereka membuat keputusan untuk memecahkan masalah.
E. Sistem Informasi Perpustakaan
Perkembangan SIM pada suatu organisasi atau perusahaan telah menghasilkan berbagai macam jenis SIM yang berkembang saat ini. Misalnya: sistem informasi akutansi, sistem informasi pemasaran, sistem informasi perhotelan, sistem informasi perpustakaan, dan lain sebagainya. Meskipun banyak jenis SIM yang telah dikembangkan, namun tujuan pengembangan SIM adalah untuk menyediakan informasi-informasi beserta ringkasan eksekutifnya yang akan menjadi landasan dalam melaksanakan proses manajerial.
Perpustakaan sebagai lembaga pendidikan dan lembaga penyedia informasi akan memiliki kinerja yang baik apabila ditunjang dengan manajemen untuk mengatur langkah-langkah dalam proses manajerialnya. Sedangkan sistem informasi dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada semua manajer unit terkait agar dapat melakukan kontrol dan membuat perencanaan selanjutnya atau mengambil keputusan-keputusan seperti bahan pustaka (koleksi) bidang subyek apa atau dalam format apa yang akan dibeli untuk program anggaran berikutnya, atau jenis layanan apa yang akan dikembangkan dalam periode yang akan datang. Untuk membuat keputusan seperti ini semua manajer yang terkait di dalam lingkungan perpustakaan akan membutuhkan informasi yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan operasional yang ada dalam sistem informasi yang telah dikembangkannya.
Gambar 6. Operasional sebuah perpustakaan (Sumber: Lancaster,1988)
Dalam hal kegiatan operasional perpustakaan pada dasarnya kegiatan-kegiatan tersebut dibagi menjadi dua kelompok utama seperti yang digambarkan dalam diagram di atas. Kegiatan pertama berhubungan dengan organisasi dan pengawasan sumber-sumber informasi. Kegiatan-kegiatan ini berupa layanan teknis yang menghasilkan berbagai macam alat bantu (seperti: katalog, bibliografi, klasifikasi rak, dan sejenisnya) yang akan membantu kegiatan kelompok keduanya, yaitu layanan publik. Layanan publik kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok: demand service dan notification service. Layanan yang pertama bersifat pasif menunggu respon atas permintaan para pengguna, sedangkan yang kedua lebih dinamis dengan mencoba mendisain layanan untuk di informasikan kepada para pengguna sehingga mereka menjadi tertarik (Lancaster,1988: 2).
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, perpustakaan sebagai sebuah institusi pengelola informasi merupakan salah satu bidang yang tidak lepas dari penerapan teknologi informasi yang sedang berkembang pesat saat ini. Perkembangan dari penerapan teknologi informasi bisa kita lihat dari perkembangan jenis perpustakaan yang selalu berkaitan dengan teknologi informasi, diawali dari perpustakaan manual, perpustakaan terotomasi, sampai pada perpustakaan digital atau cyber library (Arif, 2003:1).
Dengan adanya perkembangan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi yang dapat difungsikan dalam berbagai macam bentuk di atas, maka pekerjaan perpustakaan sekarang adalah menghadirkan sistem otomasi perpustakaan terintegrasi, termasuk jaringan dan teknologi bidang elektronik dalam mewujudkan perpustakaan modern. Banyak perpustakaan yang telah memilih sistem informasi terotomasi pada awal abad ke-19an, dimana usaha-usaha perencanaan yang telah dilakukan sebelumnya difokuskan pada alih fungsi manual kepada sistem input dan output serta pembuatan sistem pencarian kembali koleksi secara terkomputerisasi, sekarang ini banyak mulai melakukan migrasi ke sistem yang baru. Hal ini disebabkan karena sistem yang pertama masih bersifat lokal, sedangkan sistem yang berkembang saat ini adalah bagaimana perpustakaan dapat mengatur sumber dayanya agar dapat diakses dalam jangkauan yang lebih luas lagi (Cohn dkk., 2001: xv).
Rowley (1998: 314) menjelaskan bahwa fokus sistem informasi manajemen perpustakaan adalah untuk memelihara, pengembangan dan pengawasan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan koleksi yang mendukung penyeleksian, pemesanan, pengadaan, pelabelan, pengatalogan, dan kontrol sirkulasi koleksi perpustakaan. Sistem tersebut paling tidak harus mendukung fungsi-fungsi kegiatan manajemen perpustakaan sebagai berikut:
1. Pemesanan dan pengadaan (mencakup kegiatan: pemesanan; penerimaan; penolakan; penghitungan keuangan; enquires status pemesanan; laporan dan statistik pengadaan).
2. Pengatalogan (meliputi: entri data; kontrol kepengarangan; downloading rekod dari basis data lain).
3. OPAC atau bentuk katalog lainnya (meliputi: akses secara online; antarmuka akses secara umum; bentuk katalog lainnya; akses internet; akses dari pengguna jauh melalui internet).
4. Kontrol sirkulasi (meliputi: parameter-parameter tentang kebijakan peminjaman, waktu buka layanan dll.; peminjaman; waktu pengembalian; perpanjangan; denda; pemeliharaan; peminjaman jangka pendek; pemeliharaan berkas peminjam, enqiuries yang berhubungan dengan para peminjam atau status dari tiap itemnya; surat peringatan; laporan dan statistik penggunaan koleksi yang ada).
5. Kontrol serial ( meliputi: pemesanan untuk berlangganan; penerimaan isu-isu secara tersendiri; penolakan; penjilidan dan kontrolnya; penghitungan keuangan; pengatalogan; kontrol sirkulasi; enquires berhubungan dengan serial; laporan dan statistik).
6. Informasi manajemen (meliputi: berbagai macam laporan dan statistik; alat-alat yang diperlukan untuk menganalisa informasi secara statistik).
7. Pinjam antar perpustakaan (hampir sama dengan kontrol sirkulasi, tapi biasanya pilihannya lebih sedikit).
8. Informasi komunitas (meliputi: entri data; akses secara online; antarmuka akses publik).
F. Audit Informasi
Istilah audit informasi diperkenalkan oleh Elizabeth Orna dalam Practical information policies; how to manage information flow in organizations (1990) dan St. Clair Guy dalam Customer service in the information environment (1993), sebagai komponen yang terintegrasi dalam pengembangan kebijakan informasi terutama dalam rangka pengembangan strategi informasi. Proses audit informasi ini digambarkan sebagai cara yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan informasi organisasi, memetakan arus informasi dari dalam dan luar, mengembangkan komunikasi antara professional informasi dengan para pekerja, pemasaran layanan informasi dan pengembangan profil perpustakaan dalam organisasi (Henczel, 2001: 13).
Salah satu definisi mengenai audit informasi dari perspektif pengguna perpustakaan dinyatakan oleh Sharon LaRosa ( dalam Henzel, 2001), ia mendefinisikan audit informasi sebagai sebuah metode untuk mengeksplorasi dan menganalisa perpustakaan yang mempunyai ragam pengguna dalam melakukan kegiatannya secara strategis, dan menentukan peluang-peluang jasa dalam menghadapi para penggunanya. Audit informasi, yang timbul dari pertanyaan tentang dimana dan bagaimana para pengguna menemukan dan menggunakan informasi, memberikan perpustakaan pengertian yang lebih baik akan kebutuhan sekarang dan masa datang dari para penggunanya, dimana pada gilirannya akan menolong perpustakaan itu sendiri dalam menentukan arahan strategis yang paling tepat.
Definisi-definisi tersebut mempunyai beberapa implikasi yang penting dalam pengelolaan informasi sebuah organisasi, antara lain:
1. Tujuan audit informasi adalah untuk menemukan bagaimana organisasi menggunakan informasi untuk memenuhi tujuan-tujuan organisasinya. Jadi titik awalnya ada pada tujuan-tujuan organisasi tersebut, kemudian berimplikasi terhadap informasi yang dibutuhkan dan bagaimana informasi ini digunakan dalam memenuhi tujuan-tujuan tersebut. Pertimbangan tujuan-tujuan bisnis sebagai titik awal pelaksanaan audit ini akan menghasilkan sebuah pernyataan dasar tentang “Bagaimana seharusnya” informasi digunakan, dan hal ini akan memberikan petunjuk dari mana audit ini dimulai.
2. Proses audit ini sebagai suatu kegiatan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat untuk menemukan “Bagaimana hal yang terjadi sebenarnya” dalam menjawab kerangka permasalahan yang ada.
3. Keluaran audit ini terdiri dari hasil pencocokan antara bagaimana yang seharusnya terjadi dengan bagaimana yang terjadi sekarang.
4. Keluaran audit merupakan kegiatan penafsiran terhadap hasil pencocokan tersebut, dan memutuskan bagaimana penggunaan informasi organisasi kepada yang lebih mendekati tujuan yang dibutuhkannya (Orna, 1999: 70).
G. Metodologi Audit Informasi
Ada beberapa metodologi audit informasi yang dapat diterapkan dalam sebuah organisasi, di mana pelaksanaannya sangat tergantung kapada cakupan dan tujuan organisasi bersangkutan. Guenter (2004: 470) mengungkapkan bahwa, “There is really no formal rules, tools, or methods on how it should be conducted. The purpose of your audit and the structure or your own organization will directly determine its design and scope”.
Pernyataan Guenter ini mengisyaratkan bahwa untuk menentukan aturan, alat bantu, atau metode-metode formal tentang bagaimana seharusnya audit informasi ini dilaksanakan, maka desain dan cakupannya akan didasarkan pada tujuan audit dan struktur organisasi bersangkutan.
Henczel (2001: 17) menggambarkan komponen-komponen pelaksanaan audit informasi ke dalam tujuh tahap seperti tertera dalam gambar di bawah ini. Model tersebut dapat dikurangi atau ditambah sesuai dengan tipe organisasi, sumber-sumber yang tersedia dan alasan-alasan dalam pelaksanaan audit informasi tersebut.
Gambar 7. Model Tahapan Audit Informasi (sumber: Henczel, 2001: 17)
Tahap pertama, perencanaan, yaitu proses yang menggambarkan bagaimana memulai perencanaan audit informasi. Tahapan ini yang paling menentukan berhasil tidaknya audit informasi ini dilakukan. Dalam tahapan ini terdiri dari beberapa langkah yang harus dilaksanakan, yaitu: (i) menentukan tujuan yang jelas; (ii) menentukan cakupan audit dan alokasi sumbernya; (iii) memilih metodologi; (iv) mengembangkan strategi komunikasi; (v) mendaftar dukungan manajemen (termasuk persiapan kasus bisnisnya).
Tahapan kedua, pengumpulan data, yaitu proses yang menggambarkan bagaimana mengembangkan sebuah basis data sumber-sumber informasi, dan kemudian harus menentukan metode pengumpulan data, di antaranya: kuesioner, wawancara fokus pada grup dan wawancara personal.
Tahapan ketiga, analisa data, yaitu proses yang melihat pada tiga jenis (langkah) analisa yang diperlukan. Langkah pertama menganalisa data di dalam basis data informasi. Kedua pemetaan arus informasi. Dan, ketiga analisa survey tambahan. Tahapan ini mencakup persiapan data, penginputan dan pengeditan data dan berbagai macam cara di mana data dapat dianalisa dan memperkenalkan perangkat lunak yang dapat membantu analisa baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Tahapan keempat, evaluasi data, yaitu proses yang mendiskusikan evaluasi dan interpretasi data dalam kontek organisasi dan menganjurkan beberapa cara di mana temuan-temuan dapat digunakan untuk mengembangkan strategi-strategi dan memformulasikan rekomendasi, di antaranya: mengevaluasi kemungkinan adanya gap dan duplikasi; menginterpretasikan arus informasi; mengevaluasi permasalahan; memformulasikan rekomendasi; mengembangkan rencana kerja untuk melakukan perubahan.
Tahapan kelima, mengkomunikasikan temuan-temuan dan rekomendasi, yaitu proses yang menguji semua isu yang penting untuk dikomunikasikan dan direkomendasikan kepada stakeholder. Ada berbagai macam pilihan yang tersedia untuk mempresentasikan temuan-temuan dan rekomendasi hasil audit tersebut: laporan tertulis, presentasi dan seminar secara lisan, melalui situs organisasi atau umpan balik secara pribadi dari partisipan dan stakeholder.
Tahapan keenam, menerapkan rekomendasi, yaitu proses yang menghubungkan temuan-temuan dengan penerapan rekomendasi dan menganjurkan cara-cara untuk meningkatkan kesempatan penerapan yang berhasil. Pada tahapan ini memperkenalkan kebijakan informasi sebagai sebuah alat untuk mengkoordinasi bagaimana informasi dikelola di dalam organisasi tersebut
Tahapan ketujuh, audit informasi sebagai proses berkesinambungan, yaitu proses yang melihat bagaimana proses audit informasi ini dapat dilaksanakan secara reguler untuk menjaga keseimbangan perubahan kebutuhan informasi organisasi.
H. Studi Kasus Pelaksanaan Audit Informasi di Perpustakaan
Studi kasus pelaksanaan audit informasi di perpustakaan ini mengangkat hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan judul PELAKSANAAN AUDIT INFORMASI SISTEM INFORMASI PERPUSTAKAAN UIN JAKARTA: STUDI KASUS KEGIATAN PENGADAAN KOLEKSI. Pada penelitian ini penulis berasumsi bahwa hasil keluaran (output) sistem informasi terotomasi perpustakaan UIN Jakarta berbasis CDS/ISIS belum memenuhi kebutuhan informasi bagi fungsi kegiatan pengadaan koleksi perpustakaan yang selama ini berlangsung. Kasus ini mengakibatkan adanya kesenjangan dan duplikasi informasi baik di antara fungsi-fungsi kegiatan manajemen, maupun antara pihak manajemen dengan pengguna perpustakaan. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, perpustakaan UIN Jakarta telah merencanakan untuk mengembangkan sistem informasi perpustakaan terintegrasi berbasis web. Sebelum pengembangan sistem ini berlangsung pada tahap desain secara umum, maka perlu dilakukan analisa kebutuhan dan penggunaan informasi bagi pihak manajemen dan pengguna perpustakaan.
Kesimpulan yang dapat digali dari tahapan-tahapan pelaksanaan audit informasi sistem informasi perpustakaan UIN Jakarta ini, yaitu:
1. Penerapan program SIPISIS di perpustakaan UIN Jakarta ini merupakan suatu pilihan (keputusan) yang kurang tepat karena tidak sesuai dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai sebagaimana tercantum dalam buku Rencana Induk Pengembangan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1999/2000-2003/2004 dan Konsep Integral Pengembangan Perpustakaan IAIN Syarif Hidayatullah Menuju Perpustakaan Riset Terpadu. Dalam buku tersebut sudah jelas bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan sistem informasi terotomasi perpustakaan UIN Jakarta adalah untuk mendukung fungsi-fungsi kegiatan yang ada di bagian pengadaan, pengolahan, sirkulasi, pemeliharaan, dan referensi. Sedangkan program SIPISIS, sebagaimana dijelaskan dalam buku panduannya, telah dikembangkan hanya untuk mendukung fungsi kegiatan pengolahan dan sirkulasi.
2. Pelaksanaan audit informasi sistem informasi perpustakaan UIN Jakarta dapat menggambarkan bahwa kebutuhan informasi bagi pihak manajemen dan pengguna perpustakaan dalam kegiatan pengadaan koleksi adalah: (1) pada pihak manajemen tingkat atas dibutuhkan informasi tentang daftar usulan bahan pustaka, jumlah ketersediaan koleksi yang dimiliki (ada, rusak, dijilid, hilang, disisihkan), jumlah keterpakaian koleksi, jumlah permintaan koleksi, dan jumlah dana yang tersedia untuk pengadaan koleksi; (2) pada pihak manajemen tingkat bawah kebutuhan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan koleksi ini meliputi informasi daftar koleksi yang dimiliki (judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, subyek, jumlah, harga), daftar koleksi rusak, dijilid, hilang, disisihkan (nomor induk, judul, pengarang, penerbit, subyek, copy), daftar peminjaman koleksi (nomor induk, judul, pengarang, subyek, volume, copy), daftar permintaan koleksi (judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, subyek, harga), daftar koleksi wajib dan anjuran tiap program studi (judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, subyek, jumlah, harga), daftar terbitan ilmiah dan populer penunjang kegiatan perkuliahan (judul, pengarang, penerbit, subyek, harga), daftar pemesanan koleksi dari suplier (judul, pengarang, penerbit, subyek, jumlah, harga), dan daftar usulan koleksi yang tertunda (judul, pengarang, penerbit, subyek, jumlah, harga); (3) pada pihak pengguna perpustakaan informasi yang dibutuhkan berupa informasi koleksi yang dimiliki (berdasarkan judul, pengarang, penerbit, subyek, dan kata kunci), informasi status koleksi (ada, dipinjam, rusak, hilang, atau dipesan), informasi daftar isi (abstrak) koleksi, informasi permintaan koleksi (judul, pengarang, penerbit, subyek, kata kunci), informasi peminjam koleksi (data peminjam dan data peminjaman tiap anggota), dan ketersedian informasi 1 sampai 5 dalam jaringan lokal (LAN) dan yang lebih luas (WAN) dengan fasilitas OPAC berbasis WEB.
3. Analisa data pelaksanaan audit informasi sistem informasi perpustakaan UIN Jakarta menggambarkan bahwa penggunaan informasi pada pihak manajemen tingkat atas adalah untuk menetapkan pemesanan koleksi untuk tahun anggaran yang akan datang. Sedangkan pada pihak manajemen tingkat bawah kebutuhan informasi yang berhubungan dengan pengadaan koleksi ini digunakan untuk menganalisa jumlah-jumlah tentang ketersediaan, peminjaman, permintaan, kebutuhan koleksi wajib dan anjuran, dan usulan yang tertunda pada tahun sebelumnya. Adapun pada pihak pengguna perpustakaan, informasi yang berhubungan dengan pengadaan koleksi ini digunakan untuk: menunjukan dan memudahkan pencarian koleksi apa yang dimiliki perpustakaan tersebut dari segi pengarang, judul, subyek atau data bibiliografi lainnya; mengetahui keberadaan koleksi apakah ada di rak, dipinjam, diperbaiki, rusak, hilang, masih diolah, atau baru dipesan; mengetahui isi atau pokok bahasan yang ada pada tiap- tiap koleksi; mengajukan permintaan koleksi baru yang belum dimiliki; mengetahui informasi peminjam lengkap dengan alamat atau data lainnya yang bisa dihubungi dan/atau peminjaman tiap anggota yang dapat diakses dalam jaringan lokal (LAN) dan yang lebih luas (WAN) dengan fasilitas OPAC berbasis WEB.
4. Hasil evaluasi dari data yang diperoleh mengenai kebutuhan dan penggunaan informasi dalam sistem informasi terotomasi perpustakaan UIN Jakarta ini memberikan gambaran adanya permasalahan kesenjangan dan penyumbatan informasi pada pihak manajemen dan pengguna perpustakaan dalam kegiatan pengadaan koleksi. Salah satu di antaranya adalah terjadinya kesenjangan informasi (gap) dalam arus informasi dari pengguna perpustakaan kepada pihak manajemen dalam kegiatan pengadaan yang berhubungan dengan permintaan koleksi baru. Selain itu ada juga masalah duplikasi penggunaan (penginputan) data bibliografi yang terjadi di beberapa fungsi kegiatan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa sistem informasi terotomasi yang diterapkan di perpustakaan UIN Jakarta ini belum bisa mendukung tujuan-tujuan sebagaimana yang direncanakan dalam buku Konsep Integral yang telah dirumuskannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak tersedianya informasi-informasi yang dibutuhkan oleh pihak manajemen dan pengguna perpustakaan yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan koleksi. Selain itu terdapat duplikasi dokumen-dokumen yang berhubungan dengan data-data bibiliografi di beberapa fungsi kegiatan yang ada. Dari hasil evaluasi ini maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengadaan koleksi di lingkungan perpustakaan UIN Jakarta ini belum berhasil dilakukan secara efektif dan efisien. Hal ini terjadi karena pelaksanaan pengadaan koleksi masih didasarkan atas asumsi kebutuhan dan bukan atas dasar kebijakan yang disusun berdasarkan ketersediaan dan keterpakaian koleksi yang selayaknya sudah disediakan oleh sistem yang diterapkan. Dengan demikian sistem informasi terotomasi perpustakaan UIN Jakarta berbasis SIPISIS ini perlu dikembangkan lagi dengan bantuan program pendukung lain atau diganti dengan program baru lainnya yang sudah berbasis WEB. Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan penggunaan informasi bagi pihak manajemen dan pengguna perpustakaan terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan pengadaan koleksi ini.
5. Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari pelaksanaan audit informasi sistem informasi perpustakaan UIN Jakarta pada pihak manajemen dan pengguna perpustakaan dalam kegiatan pengadaan koleksi adalah (1) sistem informasi perpustakaan yang akan dikembangkan harus dapat menghasilkan keluaran-keluaran (informasi) bagi kepentingan manajemen tingkat atas dalam menetapkan daftar pemesanan koleksi untuk tahun anggaran akan datang, yaitu berupa daftar usulan koleksi tahun anggaran yang akan datang dan beberapa laporan ringkas mengenai jumlah ketersediaan, keterpakaian, dan permintaan koleksi; (2) sistem informasi perpustakaan yang akan dikembangkan harus dapat memenuhi kebutuhan dan penggunaan informasi pada manajemen tingkat bawah dalam kegiatan pengadaan koleksi dengan mengembangkan sebuah basis data yang dapat mengintegrasikan fungsi-fungsi yang ada mulai dari proses pengadaan, pengolahan, sirkulasi, dan pemeliharaan. Dengan tersedianya basis data yang terintegrasi ini diharapkan dapat menghasilkan informasi (output) berupa daftar ketersediaan koleksi (ada, rusak, dijilid, hiling, disisihkan, dan dipesan), daftar keterpakaian koleksi yang dimiliki, daftar permintaan koleksi wajib dan anjuran, daftar pemesanan koleksi, daftar usulan tertunda, dan daftar terbitan ilmiah dan populer dari para penerbit atau suplier; (3) sistem informasi yang akan dikembangkan harus dapat memenuhi kebutuhan para pengguna perpustakaan baik dalam jaringan lokal (LAN) maupun yang lebih luas lagi (WAN) dengan fasilitas OPAC berbasis WEB yang dapat menyediakan keluaran (output) berupa informasi koleksi yang dimiliki (dengan pendekatan pengarang, judul, subyek, dan kata kunci), informasi mengenai status koleksi (ada, rusak, dipinjam, dijilid, hilang, disisihkan, atau dipesan), informasi peminjam yang bisa dihubungi, dan informasi atau fasilitas permintaan koleksi yang dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Amsyah, Zulkifli. (1977). Manajemen Sistem Informasi. Cet.4 ,(2003). Jakarta: Gramedia Pustaka.
Arif, Ikhwan. (2004). “Konsep dan Perencanaan dalam Automasi Perpustakaan”. Makalah seminar dan workshop sehari Membangun Jaringan Perpustakaan Digital dan Automasi Perpustakaan menuju Masyarakat Berbasis Pengetahuan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 4 Oktober 2004.
Cohn, John M. (2001). Planning for Integrated Systems and Technologies: a how-to-do-it manual for librarians. New York: Neal-Schuman Publishers, Inc.
Davis, Gordon B. (1999). Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Guenther, Kim. (2004). Conducting an Information Audit on your Intranet. ONLINE, September/Oktober 2004. www.onlinemag.net. 11/1/2006.
Hartono, Yogiyanto. (1999). Analisa & Design Sistem Informasi: pendekatan terstruktur teori dan praktek aplikasi bisnis. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
Henczel, Susan. (2001). The Information Audit as a First Step towards Effective Knowledge Management. International Contributed Papers. SLA Publishing, Washington DC. Tersedia di http://forge.fh-potsdam.de/~IFLA/INSPEL/00-3hesu.pdf. Diakses tanggal 5/12/2005.
____________. (2001). The Information Audit: a practical guide. Munchen: Saur.
____________. (2004). Creating User Profiles to Improve Information Quality. ONLINE, Mei/Juni 2004. Tersedia di www.onlinemag.net . 11/1/2006.
____________. (2005). To be truly accountable to your clients, identify their needs. Information Outlook. Feb, 2005. Tersedia di http://www.findarticle.com/p/articles/mi_mOFWE/is_2_9/ai_n13787592/. Diakses tanggal 13/11/2005.
Herlambang, Soendoro dan Tanuwijaya, Haryanto. (2005). Sistem Informasi: konsep, teknologi dan manajemen. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Lancaster, F.W. (1988). If you want to evalute your library... London: The Library Association.
Laudon, Kenneth C. dan Laudon, Jane Price. (1995). Information Systems: a problem solving approach. Forth Worth: Dryden Press.
Marchionini, Gary. (1995). Information Seeking in Electrinic Environments. Cambridge: Cambridge University Press.
Nurwono, Yuniarto. (1994). Manajemen Informasi Pendekatan Global. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Oetomo, Budi Sutejo Dharma. (2002). Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
OICT. (2005). Information Management – Framework Guidline. Department of Commence Australia www.oit.nsw.gov.au/content/2.3.12-IM-Audit.asp. 13/11/2005
Orna, Elizabeth. (1999). Practical Information Policies. Vermon: Gower.
Ramjaun, Ibrahim. (2000). The Information Audit: a tool for visionary organisations. PROSI Magazine. No. 379 (Agustus 2000). Hal. 1-7. Tersedia di http://www.ingentaconnect.com/content/routledg/epri/2003/00000012/00000004/art00006. Diakses tgl. 13 Juni 2006.
[u1]Cek dan lengkapi
SEBUAH KONSEP ANALISIS KEBUTUHAN INFORMASI
DALAM PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI
MANAJEMEN PERPUSTAKAAN
Oleh:
Ade Abdul Hak
A. Pendahuluan
Informasi adalah salah satu aset yang sangat penting yang dimiliki oleh sebuah organisasi. Pengelolaan informasi sebagai aset atau sumber daya organisasi ini (seperti halnya sumber daya manusia dan keuangan) tentunya sangat penting dilakukan untuk memenuhi kebutuhan informasi manajemen baik secara strategis maupun operasional. Salah satu strategi dalam pengelolaan informasi untuk kebutuhan manajemen ini adalah pengembangan sistem informasi manajemen atau lebih dikenal dengan istilah SIM.
Pengembangan SIM dalam sebuah organisasi tidak terlepas dari adanya perubahan-perubahan dalam bidang teknologi informasi dan telekomunikasi yang terjadi pada saat ini. Sebagai contoh dukungan integrasi informasi ke dalam sebuah jaringan yang dapat diakses dari sektor-sektor masyarakat secara umum maupun pribadi (OICT, 2005: 3), ternyata telah mempengaruhi kegiatan internal SIM yang ada dalam sebuah organisasi. Selain itu, perubahan-perubahan kebiasaan cara mencari informasi oleh para pengguna akhir (end-user), berkembang pesatnya produk-produk informasi dalam berbagai macam format, dan cara penyampaian jasa yang berorientasi kepada kepuasan pengguna menuntut organisasi untuk mengkaji ulang sistem informasi yang telah dikembangkan sebelumnya.
Kajian ulang terhadap aset-aset dan kebutuhan informasi bagi para stakeholder dalam rangka mencari model sistem yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pengguna tersebut merupakan salah satu komponen dalam siklus hidup pengembangan sistem informasi. Pada siklus hidup pengembangan sistem informasi ini, tiap-tiap bagian dari pengembangan sistem dapat terdiri dari beberapa tahapan kerja yang mempunyai karakteristik sendiri. Tahapan kerja ini biasanya dimulai dari tahap perencanaan sistem, analisa sistem, desain sistem, seleksi sistem, implementasi sistem, dan perawatan sistem (Hartono, 1999: 41). Seperti yang disinyalir oleh Nurwono (1994) sistem informasi dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan organisasi masing-masing, oleh karena itu untuk dapat menerapkan sistem informasi yang efektif dan efisien, diperlukan perencanaan, pelaksanaan, pengaturan, dan evaluasi sesuai dengan keinginan dan nilai masing-masing organisasi.
Salah satu kegiatan analisa sistem ini adalah mendefinisikan kebutuhan informasi. Analisa kebutuhan informasi bagi para stakeholder dapat dilakukan dengan beberapa metode pengumpulan informasi, antara lain: wawancara perorangan atau kelompok fokus, pengamatan (observasi), dan pencarian catatan (dokumentasi). Penerapan metode-metode ini dipadukan dalam sebuah tahapan pengumpulan data yang sistematis. Kemudian tahapan ini diikuti oleh kegiatan analisa dan evaluasi data sampai kepada tersedianya rumusan-rumusan rekomendasi untuk pengembangan sistem tersebut. Proses tersebut merupakan sebuah evaluasi sistematis terhadap kebutuhan dan penggunaan informasi yang tercipta dengan sebuah pembuktian yang ditunjukan oleh pengguna dan dokumen-dokumen yang ada untuk memperkuat keberadaannya dalam memberikan konstribusi bagi tujuan-tujuan organisasi. Selanjutnya proses ini dikenal dengan istilah audit informasi (Henczel, 2001: xxii).
Audit informasi dilakukan untuk memahami bagaimana sebuah lingkungan informasi (dalam hal ini sistem informasi manajemen sebuah organisasi) tepat sesuai dengan misi dan visi organisasi. Dengan dilakukan audit informasi terhadap kebutuhan dan penggunaan informasi pada sistem yang berjalan, maka akan diketahui informasi-informasi apa yang perlu dihasilkan sebagai keluaran (output) dari sistem yang akan dikembangkan tersebut. Pada akhirnya pelaksanaan audit informasi ini akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi sebagai bahan masukan dalam merumuskan sebuah kebijakan informasi tentang pengembangan sistem informasi manajemen bagi organisasi bersangkutan.
B. Informasi dan Kebutuhan Informasi Manajemen
Memahami arti, sifat dan ciri-ciri informasi merupakan persyaratan awal dalam penerapan audit informasi dalam sebuah organisasi. Davis (1998: 28) menegaskan bahwa istilah informasi dapat mengenai data mentah, data tersusun, kapasitas sebuah saluran komunikasi, atau yang lainnya sesuai dengan pendekatan disiplin ilmu yang menerapkannya. Informasi dapat memperkaya penyajian, mempunyai nilai kejutan, atau mengungkap sesuatu yang penerimanya tidak tahu atau tidak tersangka. Dalam dunia yang tidak menentu, informasi mengurangi ketidakpastian. Ia mengubah kemungkinan-kemungkinan hasil yang diharapkan dalam sebuah situasi keputusan dan karena itu mempunyai nilai dalam proses keputusan.
Buckland (seperti yang dikutip Marchionini, 1998: 5) membedakan informasi sebagai proses (kegiatan komunikasi), informasi sebagai pengetahuan (menambah atau mengurangi ketidakpastian), dan informasi sebagai suatu benda (objek-objek yang mungkin memberikan informasi). Dalam hal ini Marchionini (1998:5) menyimpulkan bahwa informasi adalah sesuatu yang disalurkan dari seseorang atau benda ke dalam sebuah sistem pengetahuan penerimanya, dan sebagai komponen internal dalam fikiran orang tersebut. Sedangkan Gray (seperti yang dikutip Ramjaun, 2000: 2) menjelaskan bahwa informasi adalah sesuatu yang dibutuhkan seseorang untuk diketahui dan diterapkan dalam melaksanakan pekerjaannya agar sesuai dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya baik oleh orang itu sendiri maupun oleh organisasinya.
Davis (1999: 28) memberikan definisi secara umum untuk istilah informasi dalam pemakaian sistem informasi. Informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang. Definisi ini menekankan kenyataan bahwa data harus diproses dengan cara-cara tertentu untuk menjadi informasi dalam bentuk dan nilai yang berguna bagi pemakainya. Dengan demikian seorang pemakai informasi dapat bertindak atau mengambil keputusan tertentu secara pasti berdasarkan informasi yang dimilikinya.
Dalam hal kebutuhan informasi untuk manajemen, masing-masing tingkat manajemen akan menggunakan bentuk informasi sesuai dengan keperluan masing-masing. Karena itu terdapat bermacam-macam pengelompokan informasi. Pada gambar berikut ini diperlihatkan secara kontras segi bisnis suatu informasi secara berkesinambungan dengan manajemen lini atas (strategis) di satu sisi dan manajemen lini bawah (teknis) di sisi lain. Manajemen lini tengah (taktis), sebagaimana biasa, selalu berada di antara keduanya dengan bentuk informasi yang berada di antara kedua bentuk tingkatan tersebut (Amsyah, 1997: 289). Faktor-faktor dominan yang membedakan kebutuhan informasi dalam gambar tersebut adalah pada manajemen tingkat atas bentuk informasi biasanya tidak terstruktur, masa depan dan eksternal. Sedangkan pada manajemen tingkat bawah bentuk informasi terstruktur, sudah terjadi dan internal.
Gambar 1. Dimensi bisnis suatu informasi (Sumber: Amsyah, 1997: 290)
Kita ambil contoh pekerjaan seorang Kepala Bagian (Kabag) pengadaan bahan pustaka di perpustakaan perguruan tinggi sebagai manajemen tingkat bawah. Ia ingin memonitor informasi mengenai permintaan koleksi (buku) oleh pengguna dalam subyek tertentu. Karena informasinya terstruktur, maka daftar permintaan buku berdasarkan subyek tersebut dapat diprogramkan. Peraturan-peraturan, prosedur-prosedur, dan cara penyampaian permintaannya dapat dibuat untuk keperluan pengadaan koleksi perpustakaan agar segalanya secara efektif dan efisien dapat dicapai sesuai dengan informasi yang sudah diketahuinya. Lain halnya dengan pekerjaan Kepala Perpustakaan, ia harus menentukan subyek apa yang akan diprioritaskan untuk dibeli untuk tahun anggaran yang akan datang. Ia membutuhkan informasi tambahan dari fungsi kegiatan lainnya, seperti data sirkulasi dan pemeliharaan untuk menentukan kebijakan pengembangan koleksi yang akan dibuatnya.
Dengan contoh di atas terlihat bahwa untuk pekerjaan manajemen lini bawah sistem informasinya lebih mudah diprogramkan dengan komputer dibandingkan dengan informasi untuk manajemen lini atas. Bentuk tanggung jawab manajemen lini atas yang meliputi masalah perencanaan strategis dengan sifat informasinya yang tidak terstruktur memang sulit untuk diprogramkan. Informasi untuk keperluan perencanaan (lini atas) lebih berorientasi pada masa depan, karena itu tidak sekonkret bila dibandingkan dengan informasi untuk keperluan manajemen lini bawah (Amsyah, 1997: 291).
Informasi yang dibutuhkan oleh unit-unit kerja dari semua tingkat kegiatan sampai ketingkat pengguna jasa organisasi sebagai bahan komunikasi organisasi akan diolah, digunakan dan disaring kemudian disalurkan sesuai dengan tingkatan dalam organisasi, seperti gambar di bawah ini. Gambar tersebut menunjukkan arus informasi dalam organisasi dari manajer lini atas (level 1) sebagai tingkat strategis, sampai ke lini bawah (level 4) sebagai tingkatan yang paling bawah di mana para pekerja langsung berhadapan dengan para pengguna. Hal ini menunjukkan bagaimana arus informasi dalam organisasi naik dan turun sesuai dengan jenjang dan tingkatannya (Henczel, 2001: 7). Untuk tiap-tiap tingkatan manajemen, tipe informasi yang dibutuhkan akan berbeda. Pada manajemen tingkat bawah, tipe informasinya adalah terinci (detail), karena informasi utama digunakan untuk pengendalian operasi. Sedangkan untuk manajemen yang lebih tinggi tingkatannya, tipe informasinya adalah semakin tersaring atau lebih ringkas (Hartono, 1999: 26).
Gambar 2. Penyaringan informasi ke level atas dalam tingkatan organisasi[u1]
(Gambar diadopsi dari: Henczel, 2001: 7).
C. Sistem Informasi
Untuk mendukung proses manajemen informasi seperti digambarkan di atas dibutuhkan sistem informasi (SI) yang menjadi poros untuk mengalirkan informasi dengan lancar agar proses-proses itu dapat berlangsung secara berkesinambungan dan teratur. Oetomo (2002: 11) mendefinisikan sistem informasi (SI) sebagai kumpulan elemen yang saling berhubungan satu sama yang lain yang membentuk satu kesatuan untuk mengintegrasikan data, memproses dan menyimpan serta mendistribusikan informasi. Dengan kata lain, SI merupakan kesatuan elemen-elemen yang saling berinteraksi secara sistematis dan teratur untuk menciptakan dan membentuk arus informasi yang akan mendukung pembuatan keputusan dan melakukan kontrol terhadap jalannya perusahaan
Dengan kata lain sistem informasi adalah suatu sistem di dalam sebuah organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian, mendukung operasi, bersifat manajerial dan kegiatan strategis dari suatu organisasi dan menyediakan pihak tertentu dengan informasi yang diperlukan.
Secara sederhana sistem informasi terdiri dari input, proses dan output seperti yang ilustrasikan pada gambar berikut ini. Sistem informasi menerima masukan data dan instruksi, mengolah data tersebut sesuai instruksi, dan mengeluarkan sesuai dengan instruksi.
Gambar 3. Transformasi data menjadi informasi (Sumber: Davis, 1999: 91)
Model dasar sistem ini cocok bagi kasus sistem pengolahan informasi yang paling sederhana di mana semua masukan tiba pada saat bersamaan. Namun hal ini jarang terjadi dan biasanya dalam sistem informasi sering membutuhkan data yang telah disimpan dan diolah pada periode sebelumnya. Karena itu ditambahkan komponen sistem informasi lainnya, yaitu sebuah penyimpanan data (data storage), dan untuk maksud pengendalian dapat ditambahkan suatu sistem pengendalian umpan balik dalam sistem informasi tersebut (Davis, 1999: 91).
Gambar 4. Model Penerapan Sistem Informasi (Sumber: Laudon, 1995: 7)
Dalam sistem tersebut terdapat hubungan umpan balik dengan kedua elemen, yaitu input dan output. Input berupa data yang dimasukan melalui alat input (seperti: keybord atau unit kerja) yang akan diproses dengan metode-metode tertentu dan akan menghasilkan output berupa informasi. Informasi yang dihasilkan dapat berupa laporan (report) atau solusi dari proses yang telah dijalankan (Herlambang dan Tanuwijaya, 2005: 47).
Laudon & Laudon (1995: 5) memberikan penjelasan bahwa input merupakan proses penangkapan atau pengumpulan sumber-sumber data dari dalam dan luar organisasi, processing sebagai proses pengkonversian data yang di-input ke dalam bentuk yang lebih tepat dan berguna, dan output sebagai proses penyaluran informasi yang sudah diproses untuk orang-orang atau kegiatan-kegiatan yang memerlukannya. Sistem informasi juga menyimpan informasi dalam berbagai macam bentuk hingga informasi tersebut dibutuhkan. Sedangkan feedback atau umpan balik merupakan output yang dikembalikan pada anggota organisasi yang tepat untuk membantunya mengoreksi pada tahapan input.
D. Pengembangan Sistem Informasi
Pada dasarnya sistem informasi dapat merupakan tata kelola informasi secara manual atau berbasis komputer. Namun dalam perkembangan selanjutnya sistem informasi selalu berhubungan dengan teknologi informasi, khususnya teknologi komputer. Pengembangan sistem informasi berbasis komputer dapat merupakan tugas komplek yang membutuhkan banyak sumber daya dan dapat memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menyelesaikannya. Oetomo (2002: 12) menjelaskan bahwa membangun sistem informasi bukan sekedar mengotomasi prosedur lama, tetapi menata dan memperbaharui bahkan menciptakan arus data yang baru yang lebih efisien, menetapkan prosedur pengolahan data yang baru secara tepat, sistematis, dan sederhana, menentukan model penyajian yang informatif dan standar, serta distribusi yang efektif. Proses pengembangan sistem ini biasanya melewati beberapa tahapan mulai dari sistem itu direncanakan sampai dengan sistem tersebut diterapkan, dioperasikan dan dipelihara dalam sebuah siklus hidup sistem.
Tahapan utama siklus hidup sistem ini terdiri dari tahapan perencanaan sistem, analisa sistem, desain sistem, seleksi sistem, implementasi sistem dan perawatan sistem (lihat gambar 5). Sebenarnya ada beberapa model siklus pengembangan sistem yang telah berkembang sejak tahun 70an – 90an seperti yang telah dijelaskan oleh Hartono (1999). Di antara 18 contoh model siklus pengembangan sistem yang disajikannya, hanya tiga model yang secara tegas menjelaskan tentang identifikasi kebutuhan-kebutuhan informasi dalam tahapan analisa sistemnya. Ketiga model tersebut dikembangkan oleh Joseph W. Wilkinson tahun 1982, Gordon B. Davis tahun 1985 dan Robert H. Blistmer tahun 1985.
Gambar 5. Siklus hidup pengembangan sistem (Sumber: Hartono, 1999: 41).
Wilkinson (seperti yang dikutip Hartono,1999: 52) menjelaskan bahwa ada beberapa pendekatan untuk mengembangkan sistem, yaitu: 1). Pendekatan klasik lawan pendekatan terstruktur (dipandang dari metodologi yang digunakan); 2). Pendekatan sepotong lawan pendekatan sistem (dipandang dari sasaran yang akan dicapai); 3). Pendekatan bawah-naik lawan pendekatan atas-turun (dipandang dari cara menentukan kebutuhan dari sistem); 4). Pendekatan sistem-menyeluruh lawan pendekatan moduler (dipandang dari cara mengembangkannya); dan 5). Pendekatan lompat jauh lawan pendekatan berkembang (dipandang dari teknologi yang akan digunakan).
Selanjutnya Wilkinson (Ibid: 58) menjelaskan bahwa salah satu pendekatan yang melihat kepada kebutuhan informasi organisasi adalah pendekatan bawah-naik (bottom-up approach) dan pendekatan atas-turun (top-down approach). Pada pendekatan bawah-naik pelaksanaan dimulai dari level bawah opersional di mana transaksi di lakukan. Pendekatan ini dimulai dari perumusan kebutuhan-kebutuhan untuk menangani transaksi dan naik ke level atas dengan merumuskan kebutuhan informasi berdasarkan transaksi tersebut. Sedangkan pada pendekatan atas turun pelaksanaan dimulai dengan mendefinisikan sasaran dan kebijakan organisasi. Langkah selanjutnya adalah dilakukannya analisa kebutuhan informasi. Setelah kebutuhan informasi ditentukan, maka proses selanjutnya turun ke pemrosesan transaksi untuk menentukan output, input, basis data, prosedur-prosedur operasi dan kontrol.
Keberadaan sistem informasi dalam meningkatkan kesehatan arus informasi sebuah organisasi perlu ditindaklanjuti dengan membangun suatu sistem informasi manajemen (SIM) yang integral dan terpadu. Oetomo (2002: 167) menjelaskan bahwa SIM akan menolong perusahaan-perusahaan dalam mengintegrasikan data, mempercepat dan mensistematiskan pengolahan data, meningkatkan kualitas informasi dan kontrol manajemen, mendorong terciptanya produk-produk baru, meningkatkan layanan dan kontrol, mengotomasi sebagian pekerjaan rutin, dan menyederhanakan alur kerja.
Davis (1999: 3) memberikan definisi SIM sebagai sebuah sistem manusia/mesin yang terpadu (integrated) untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasi, manajemen, dan pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi. Sejalan dengan definisi Davis ini, Mc Leod (seperti yang dikutip Oetomo,2002: 168) memberikan definisi SIM sebagai suatu sistem berbasis komputer yang menyediakan informasi bagi beberapa pemakai yang mempunyai kebutuhan serupa. Informasi menjelaskan perusahaan atau salah satu sistem utamanya mengenai apa yang telah terjadi sekarang dan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Informasi tersebut tersedia dalam bentuk laporan periodik, laporan khusus dan output dari simulasi matematika. Informasi digunakan oleh pengelola maupun staf lainnya pada saat mereka membuat keputusan untuk memecahkan masalah.
E. Sistem Informasi Perpustakaan
Perkembangan SIM pada suatu organisasi atau perusahaan telah menghasilkan berbagai macam jenis SIM yang berkembang saat ini. Misalnya: sistem informasi akutansi, sistem informasi pemasaran, sistem informasi perhotelan, sistem informasi perpustakaan, dan lain sebagainya. Meskipun banyak jenis SIM yang telah dikembangkan, namun tujuan pengembangan SIM adalah untuk menyediakan informasi-informasi beserta ringkasan eksekutifnya yang akan menjadi landasan dalam melaksanakan proses manajerial.
Perpustakaan sebagai lembaga pendidikan dan lembaga penyedia informasi akan memiliki kinerja yang baik apabila ditunjang dengan manajemen untuk mengatur langkah-langkah dalam proses manajerialnya. Sedangkan sistem informasi dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada semua manajer unit terkait agar dapat melakukan kontrol dan membuat perencanaan selanjutnya atau mengambil keputusan-keputusan seperti bahan pustaka (koleksi) bidang subyek apa atau dalam format apa yang akan dibeli untuk program anggaran berikutnya, atau jenis layanan apa yang akan dikembangkan dalam periode yang akan datang. Untuk membuat keputusan seperti ini semua manajer yang terkait di dalam lingkungan perpustakaan akan membutuhkan informasi yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan operasional yang ada dalam sistem informasi yang telah dikembangkannya.
Gambar 6. Operasional sebuah perpustakaan (Sumber: Lancaster,1988)
Dalam hal kegiatan operasional perpustakaan pada dasarnya kegiatan-kegiatan tersebut dibagi menjadi dua kelompok utama seperti yang digambarkan dalam diagram di atas. Kegiatan pertama berhubungan dengan organisasi dan pengawasan sumber-sumber informasi. Kegiatan-kegiatan ini berupa layanan teknis yang menghasilkan berbagai macam alat bantu (seperti: katalog, bibliografi, klasifikasi rak, dan sejenisnya) yang akan membantu kegiatan kelompok keduanya, yaitu layanan publik. Layanan publik kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok: demand service dan notification service. Layanan yang pertama bersifat pasif menunggu respon atas permintaan para pengguna, sedangkan yang kedua lebih dinamis dengan mencoba mendisain layanan untuk di informasikan kepada para pengguna sehingga mereka menjadi tertarik (Lancaster,1988: 2).
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, perpustakaan sebagai sebuah institusi pengelola informasi merupakan salah satu bidang yang tidak lepas dari penerapan teknologi informasi yang sedang berkembang pesat saat ini. Perkembangan dari penerapan teknologi informasi bisa kita lihat dari perkembangan jenis perpustakaan yang selalu berkaitan dengan teknologi informasi, diawali dari perpustakaan manual, perpustakaan terotomasi, sampai pada perpustakaan digital atau cyber library (Arif, 2003:1).
Dengan adanya perkembangan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi yang dapat difungsikan dalam berbagai macam bentuk di atas, maka pekerjaan perpustakaan sekarang adalah menghadirkan sistem otomasi perpustakaan terintegrasi, termasuk jaringan dan teknologi bidang elektronik dalam mewujudkan perpustakaan modern. Banyak perpustakaan yang telah memilih sistem informasi terotomasi pada awal abad ke-19an, dimana usaha-usaha perencanaan yang telah dilakukan sebelumnya difokuskan pada alih fungsi manual kepada sistem input dan output serta pembuatan sistem pencarian kembali koleksi secara terkomputerisasi, sekarang ini banyak mulai melakukan migrasi ke sistem yang baru. Hal ini disebabkan karena sistem yang pertama masih bersifat lokal, sedangkan sistem yang berkembang saat ini adalah bagaimana perpustakaan dapat mengatur sumber dayanya agar dapat diakses dalam jangkauan yang lebih luas lagi (Cohn dkk., 2001: xv).
Rowley (1998: 314) menjelaskan bahwa fokus sistem informasi manajemen perpustakaan adalah untuk memelihara, pengembangan dan pengawasan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan koleksi yang mendukung penyeleksian, pemesanan, pengadaan, pelabelan, pengatalogan, dan kontrol sirkulasi koleksi perpustakaan. Sistem tersebut paling tidak harus mendukung fungsi-fungsi kegiatan manajemen perpustakaan sebagai berikut:
1. Pemesanan dan pengadaan (mencakup kegiatan: pemesanan; penerimaan; penolakan; penghitungan keuangan; enquires status pemesanan; laporan dan statistik pengadaan).
2. Pengatalogan (meliputi: entri data; kontrol kepengarangan; downloading rekod dari basis data lain).
3. OPAC atau bentuk katalog lainnya (meliputi: akses secara online; antarmuka akses secara umum; bentuk katalog lainnya; akses internet; akses dari pengguna jauh melalui internet).
4. Kontrol sirkulasi (meliputi: parameter-parameter tentang kebijakan peminjaman, waktu buka layanan dll.; peminjaman; waktu pengembalian; perpanjangan; denda; pemeliharaan; peminjaman jangka pendek; pemeliharaan berkas peminjam, enqiuries yang berhubungan dengan para peminjam atau status dari tiap itemnya; surat peringatan; laporan dan statistik penggunaan koleksi yang ada).
5. Kontrol serial ( meliputi: pemesanan untuk berlangganan; penerimaan isu-isu secara tersendiri; penolakan; penjilidan dan kontrolnya; penghitungan keuangan; pengatalogan; kontrol sirkulasi; enquires berhubungan dengan serial; laporan dan statistik).
6. Informasi manajemen (meliputi: berbagai macam laporan dan statistik; alat-alat yang diperlukan untuk menganalisa informasi secara statistik).
7. Pinjam antar perpustakaan (hampir sama dengan kontrol sirkulasi, tapi biasanya pilihannya lebih sedikit).
8. Informasi komunitas (meliputi: entri data; akses secara online; antarmuka akses publik).
F. Audit Informasi
Istilah audit informasi diperkenalkan oleh Elizabeth Orna dalam Practical information policies; how to manage information flow in organizations (1990) dan St. Clair Guy dalam Customer service in the information environment (1993), sebagai komponen yang terintegrasi dalam pengembangan kebijakan informasi terutama dalam rangka pengembangan strategi informasi. Proses audit informasi ini digambarkan sebagai cara yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan informasi organisasi, memetakan arus informasi dari dalam dan luar, mengembangkan komunikasi antara professional informasi dengan para pekerja, pemasaran layanan informasi dan pengembangan profil perpustakaan dalam organisasi (Henczel, 2001: 13).
Salah satu definisi mengenai audit informasi dari perspektif pengguna perpustakaan dinyatakan oleh Sharon LaRosa ( dalam Henzel, 2001), ia mendefinisikan audit informasi sebagai sebuah metode untuk mengeksplorasi dan menganalisa perpustakaan yang mempunyai ragam pengguna dalam melakukan kegiatannya secara strategis, dan menentukan peluang-peluang jasa dalam menghadapi para penggunanya. Audit informasi, yang timbul dari pertanyaan tentang dimana dan bagaimana para pengguna menemukan dan menggunakan informasi, memberikan perpustakaan pengertian yang lebih baik akan kebutuhan sekarang dan masa datang dari para penggunanya, dimana pada gilirannya akan menolong perpustakaan itu sendiri dalam menentukan arahan strategis yang paling tepat.
Definisi-definisi tersebut mempunyai beberapa implikasi yang penting dalam pengelolaan informasi sebuah organisasi, antara lain:
1. Tujuan audit informasi adalah untuk menemukan bagaimana organisasi menggunakan informasi untuk memenuhi tujuan-tujuan organisasinya. Jadi titik awalnya ada pada tujuan-tujuan organisasi tersebut, kemudian berimplikasi terhadap informasi yang dibutuhkan dan bagaimana informasi ini digunakan dalam memenuhi tujuan-tujuan tersebut. Pertimbangan tujuan-tujuan bisnis sebagai titik awal pelaksanaan audit ini akan menghasilkan sebuah pernyataan dasar tentang “Bagaimana seharusnya” informasi digunakan, dan hal ini akan memberikan petunjuk dari mana audit ini dimulai.
2. Proses audit ini sebagai suatu kegiatan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat untuk menemukan “Bagaimana hal yang terjadi sebenarnya” dalam menjawab kerangka permasalahan yang ada.
3. Keluaran audit ini terdiri dari hasil pencocokan antara bagaimana yang seharusnya terjadi dengan bagaimana yang terjadi sekarang.
4. Keluaran audit merupakan kegiatan penafsiran terhadap hasil pencocokan tersebut, dan memutuskan bagaimana penggunaan informasi organisasi kepada yang lebih mendekati tujuan yang dibutuhkannya (Orna, 1999: 70).
G. Metodologi Audit Informasi
Ada beberapa metodologi audit informasi yang dapat diterapkan dalam sebuah organisasi, di mana pelaksanaannya sangat tergantung kapada cakupan dan tujuan organisasi bersangkutan. Guenter (2004: 470) mengungkapkan bahwa, “There is really no formal rules, tools, or methods on how it should be conducted. The purpose of your audit and the structure or your own organization will directly determine its design and scope”.
Pernyataan Guenter ini mengisyaratkan bahwa untuk menentukan aturan, alat bantu, atau metode-metode formal tentang bagaimana seharusnya audit informasi ini dilaksanakan, maka desain dan cakupannya akan didasarkan pada tujuan audit dan struktur organisasi bersangkutan.
Henczel (2001: 17) menggambarkan komponen-komponen pelaksanaan audit informasi ke dalam tujuh tahap seperti tertera dalam gambar di bawah ini. Model tersebut dapat dikurangi atau ditambah sesuai dengan tipe organisasi, sumber-sumber yang tersedia dan alasan-alasan dalam pelaksanaan audit informasi tersebut.
Gambar 7. Model Tahapan Audit Informasi (sumber: Henczel, 2001: 17)
Tahap pertama, perencanaan, yaitu proses yang menggambarkan bagaimana memulai perencanaan audit informasi. Tahapan ini yang paling menentukan berhasil tidaknya audit informasi ini dilakukan. Dalam tahapan ini terdiri dari beberapa langkah yang harus dilaksanakan, yaitu: (i) menentukan tujuan yang jelas; (ii) menentukan cakupan audit dan alokasi sumbernya; (iii) memilih metodologi; (iv) mengembangkan strategi komunikasi; (v) mendaftar dukungan manajemen (termasuk persiapan kasus bisnisnya).
Tahapan kedua, pengumpulan data, yaitu proses yang menggambarkan bagaimana mengembangkan sebuah basis data sumber-sumber informasi, dan kemudian harus menentukan metode pengumpulan data, di antaranya: kuesioner, wawancara fokus pada grup dan wawancara personal.
Tahapan ketiga, analisa data, yaitu proses yang melihat pada tiga jenis (langkah) analisa yang diperlukan. Langkah pertama menganalisa data di dalam basis data informasi. Kedua pemetaan arus informasi. Dan, ketiga analisa survey tambahan. Tahapan ini mencakup persiapan data, penginputan dan pengeditan data dan berbagai macam cara di mana data dapat dianalisa dan memperkenalkan perangkat lunak yang dapat membantu analisa baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Tahapan keempat, evaluasi data, yaitu proses yang mendiskusikan evaluasi dan interpretasi data dalam kontek organisasi dan menganjurkan beberapa cara di mana temuan-temuan dapat digunakan untuk mengembangkan strategi-strategi dan memformulasikan rekomendasi, di antaranya: mengevaluasi kemungkinan adanya gap dan duplikasi; menginterpretasikan arus informasi; mengevaluasi permasalahan; memformulasikan rekomendasi; mengembangkan rencana kerja untuk melakukan perubahan.
Tahapan kelima, mengkomunikasikan temuan-temuan dan rekomendasi, yaitu proses yang menguji semua isu yang penting untuk dikomunikasikan dan direkomendasikan kepada stakeholder. Ada berbagai macam pilihan yang tersedia untuk mempresentasikan temuan-temuan dan rekomendasi hasil audit tersebut: laporan tertulis, presentasi dan seminar secara lisan, melalui situs organisasi atau umpan balik secara pribadi dari partisipan dan stakeholder.
Tahapan keenam, menerapkan rekomendasi, yaitu proses yang menghubungkan temuan-temuan dengan penerapan rekomendasi dan menganjurkan cara-cara untuk meningkatkan kesempatan penerapan yang berhasil. Pada tahapan ini memperkenalkan kebijakan informasi sebagai sebuah alat untuk mengkoordinasi bagaimana informasi dikelola di dalam organisasi tersebut
Tahapan ketujuh, audit informasi sebagai proses berkesinambungan, yaitu proses yang melihat bagaimana proses audit informasi ini dapat dilaksanakan secara reguler untuk menjaga keseimbangan perubahan kebutuhan informasi organisasi.
H. Studi Kasus Pelaksanaan Audit Informasi di Perpustakaan
Studi kasus pelaksanaan audit informasi di perpustakaan ini mengangkat hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan judul PELAKSANAAN AUDIT INFORMASI SISTEM INFORMASI PERPUSTAKAAN UIN JAKARTA: STUDI KASUS KEGIATAN PENGADAAN KOLEKSI. Pada penelitian ini penulis berasumsi bahwa hasil keluaran (output) sistem informasi terotomasi perpustakaan UIN Jakarta berbasis CDS/ISIS belum memenuhi kebutuhan informasi bagi fungsi kegiatan pengadaan koleksi perpustakaan yang selama ini berlangsung. Kasus ini mengakibatkan adanya kesenjangan dan duplikasi informasi baik di antara fungsi-fungsi kegiatan manajemen, maupun antara pihak manajemen dengan pengguna perpustakaan. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, perpustakaan UIN Jakarta telah merencanakan untuk mengembangkan sistem informasi perpustakaan terintegrasi berbasis web. Sebelum pengembangan sistem ini berlangsung pada tahap desain secara umum, maka perlu dilakukan analisa kebutuhan dan penggunaan informasi bagi pihak manajemen dan pengguna perpustakaan.
Kesimpulan yang dapat digali dari tahapan-tahapan pelaksanaan audit informasi sistem informasi perpustakaan UIN Jakarta ini, yaitu:
1. Penerapan program SIPISIS di perpustakaan UIN Jakarta ini merupakan suatu pilihan (keputusan) yang kurang tepat karena tidak sesuai dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai sebagaimana tercantum dalam buku Rencana Induk Pengembangan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1999/2000-2003/2004 dan Konsep Integral Pengembangan Perpustakaan IAIN Syarif Hidayatullah Menuju Perpustakaan Riset Terpadu. Dalam buku tersebut sudah jelas bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan sistem informasi terotomasi perpustakaan UIN Jakarta adalah untuk mendukung fungsi-fungsi kegiatan yang ada di bagian pengadaan, pengolahan, sirkulasi, pemeliharaan, dan referensi. Sedangkan program SIPISIS, sebagaimana dijelaskan dalam buku panduannya, telah dikembangkan hanya untuk mendukung fungsi kegiatan pengolahan dan sirkulasi.
2. Pelaksanaan audit informasi sistem informasi perpustakaan UIN Jakarta dapat menggambarkan bahwa kebutuhan informasi bagi pihak manajemen dan pengguna perpustakaan dalam kegiatan pengadaan koleksi adalah: (1) pada pihak manajemen tingkat atas dibutuhkan informasi tentang daftar usulan bahan pustaka, jumlah ketersediaan koleksi yang dimiliki (ada, rusak, dijilid, hilang, disisihkan), jumlah keterpakaian koleksi, jumlah permintaan koleksi, dan jumlah dana yang tersedia untuk pengadaan koleksi; (2) pada pihak manajemen tingkat bawah kebutuhan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan koleksi ini meliputi informasi daftar koleksi yang dimiliki (judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, subyek, jumlah, harga), daftar koleksi rusak, dijilid, hilang, disisihkan (nomor induk, judul, pengarang, penerbit, subyek, copy), daftar peminjaman koleksi (nomor induk, judul, pengarang, subyek, volume, copy), daftar permintaan koleksi (judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, subyek, harga), daftar koleksi wajib dan anjuran tiap program studi (judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, subyek, jumlah, harga), daftar terbitan ilmiah dan populer penunjang kegiatan perkuliahan (judul, pengarang, penerbit, subyek, harga), daftar pemesanan koleksi dari suplier (judul, pengarang, penerbit, subyek, jumlah, harga), dan daftar usulan koleksi yang tertunda (judul, pengarang, penerbit, subyek, jumlah, harga); (3) pada pihak pengguna perpustakaan informasi yang dibutuhkan berupa informasi koleksi yang dimiliki (berdasarkan judul, pengarang, penerbit, subyek, dan kata kunci), informasi status koleksi (ada, dipinjam, rusak, hilang, atau dipesan), informasi daftar isi (abstrak) koleksi, informasi permintaan koleksi (judul, pengarang, penerbit, subyek, kata kunci), informasi peminjam koleksi (data peminjam dan data peminjaman tiap anggota), dan ketersedian informasi 1 sampai 5 dalam jaringan lokal (LAN) dan yang lebih luas (WAN) dengan fasilitas OPAC berbasis WEB.
3. Analisa data pelaksanaan audit informasi sistem informasi perpustakaan UIN Jakarta menggambarkan bahwa penggunaan informasi pada pihak manajemen tingkat atas adalah untuk menetapkan pemesanan koleksi untuk tahun anggaran yang akan datang. Sedangkan pada pihak manajemen tingkat bawah kebutuhan informasi yang berhubungan dengan pengadaan koleksi ini digunakan untuk menganalisa jumlah-jumlah tentang ketersediaan, peminjaman, permintaan, kebutuhan koleksi wajib dan anjuran, dan usulan yang tertunda pada tahun sebelumnya. Adapun pada pihak pengguna perpustakaan, informasi yang berhubungan dengan pengadaan koleksi ini digunakan untuk: menunjukan dan memudahkan pencarian koleksi apa yang dimiliki perpustakaan tersebut dari segi pengarang, judul, subyek atau data bibiliografi lainnya; mengetahui keberadaan koleksi apakah ada di rak, dipinjam, diperbaiki, rusak, hilang, masih diolah, atau baru dipesan; mengetahui isi atau pokok bahasan yang ada pada tiap- tiap koleksi; mengajukan permintaan koleksi baru yang belum dimiliki; mengetahui informasi peminjam lengkap dengan alamat atau data lainnya yang bisa dihubungi dan/atau peminjaman tiap anggota yang dapat diakses dalam jaringan lokal (LAN) dan yang lebih luas (WAN) dengan fasilitas OPAC berbasis WEB.
4. Hasil evaluasi dari data yang diperoleh mengenai kebutuhan dan penggunaan informasi dalam sistem informasi terotomasi perpustakaan UIN Jakarta ini memberikan gambaran adanya permasalahan kesenjangan dan penyumbatan informasi pada pihak manajemen dan pengguna perpustakaan dalam kegiatan pengadaan koleksi. Salah satu di antaranya adalah terjadinya kesenjangan informasi (gap) dalam arus informasi dari pengguna perpustakaan kepada pihak manajemen dalam kegiatan pengadaan yang berhubungan dengan permintaan koleksi baru. Selain itu ada juga masalah duplikasi penggunaan (penginputan) data bibliografi yang terjadi di beberapa fungsi kegiatan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa sistem informasi terotomasi yang diterapkan di perpustakaan UIN Jakarta ini belum bisa mendukung tujuan-tujuan sebagaimana yang direncanakan dalam buku Konsep Integral yang telah dirumuskannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak tersedianya informasi-informasi yang dibutuhkan oleh pihak manajemen dan pengguna perpustakaan yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan koleksi. Selain itu terdapat duplikasi dokumen-dokumen yang berhubungan dengan data-data bibiliografi di beberapa fungsi kegiatan yang ada. Dari hasil evaluasi ini maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengadaan koleksi di lingkungan perpustakaan UIN Jakarta ini belum berhasil dilakukan secara efektif dan efisien. Hal ini terjadi karena pelaksanaan pengadaan koleksi masih didasarkan atas asumsi kebutuhan dan bukan atas dasar kebijakan yang disusun berdasarkan ketersediaan dan keterpakaian koleksi yang selayaknya sudah disediakan oleh sistem yang diterapkan. Dengan demikian sistem informasi terotomasi perpustakaan UIN Jakarta berbasis SIPISIS ini perlu dikembangkan lagi dengan bantuan program pendukung lain atau diganti dengan program baru lainnya yang sudah berbasis WEB. Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan penggunaan informasi bagi pihak manajemen dan pengguna perpustakaan terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan pengadaan koleksi ini.
5. Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari pelaksanaan audit informasi sistem informasi perpustakaan UIN Jakarta pada pihak manajemen dan pengguna perpustakaan dalam kegiatan pengadaan koleksi adalah (1) sistem informasi perpustakaan yang akan dikembangkan harus dapat menghasilkan keluaran-keluaran (informasi) bagi kepentingan manajemen tingkat atas dalam menetapkan daftar pemesanan koleksi untuk tahun anggaran akan datang, yaitu berupa daftar usulan koleksi tahun anggaran yang akan datang dan beberapa laporan ringkas mengenai jumlah ketersediaan, keterpakaian, dan permintaan koleksi; (2) sistem informasi perpustakaan yang akan dikembangkan harus dapat memenuhi kebutuhan dan penggunaan informasi pada manajemen tingkat bawah dalam kegiatan pengadaan koleksi dengan mengembangkan sebuah basis data yang dapat mengintegrasikan fungsi-fungsi yang ada mulai dari proses pengadaan, pengolahan, sirkulasi, dan pemeliharaan. Dengan tersedianya basis data yang terintegrasi ini diharapkan dapat menghasilkan informasi (output) berupa daftar ketersediaan koleksi (ada, rusak, dijilid, hiling, disisihkan, dan dipesan), daftar keterpakaian koleksi yang dimiliki, daftar permintaan koleksi wajib dan anjuran, daftar pemesanan koleksi, daftar usulan tertunda, dan daftar terbitan ilmiah dan populer dari para penerbit atau suplier; (3) sistem informasi yang akan dikembangkan harus dapat memenuhi kebutuhan para pengguna perpustakaan baik dalam jaringan lokal (LAN) maupun yang lebih luas lagi (WAN) dengan fasilitas OPAC berbasis WEB yang dapat menyediakan keluaran (output) berupa informasi koleksi yang dimiliki (dengan pendekatan pengarang, judul, subyek, dan kata kunci), informasi mengenai status koleksi (ada, rusak, dipinjam, dijilid, hilang, disisihkan, atau dipesan), informasi peminjam yang bisa dihubungi, dan informasi atau fasilitas permintaan koleksi yang dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Amsyah, Zulkifli. (1977). Manajemen Sistem Informasi. Cet.4 ,(2003). Jakarta: Gramedia Pustaka.
Arif, Ikhwan. (2004). “Konsep dan Perencanaan dalam Automasi Perpustakaan”. Makalah seminar dan workshop sehari Membangun Jaringan Perpustakaan Digital dan Automasi Perpustakaan menuju Masyarakat Berbasis Pengetahuan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 4 Oktober 2004.
Cohn, John M. (2001). Planning for Integrated Systems and Technologies: a how-to-do-it manual for librarians. New York: Neal-Schuman Publishers, Inc.
Davis, Gordon B. (1999). Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Guenther, Kim. (2004). Conducting an Information Audit on your Intranet. ONLINE, September/Oktober 2004. www.onlinemag.net. 11/1/2006.
Hartono, Yogiyanto. (1999). Analisa & Design Sistem Informasi: pendekatan terstruktur teori dan praktek aplikasi bisnis. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
Henczel, Susan. (2001). The Information Audit as a First Step towards Effective Knowledge Management. International Contributed Papers. SLA Publishing, Washington DC. Tersedia di http://forge.fh-potsdam.de/~IFLA/INSPEL/00-3hesu.pdf. Diakses tanggal 5/12/2005.
____________. (2001). The Information Audit: a practical guide. Munchen: Saur.
____________. (2004). Creating User Profiles to Improve Information Quality. ONLINE, Mei/Juni 2004. Tersedia di www.onlinemag.net . 11/1/2006.
____________. (2005). To be truly accountable to your clients, identify their needs. Information Outlook. Feb, 2005. Tersedia di http://www.findarticle.com/p/articles/mi_mOFWE/is_2_9/ai_n13787592/. Diakses tanggal 13/11/2005.
Herlambang, Soendoro dan Tanuwijaya, Haryanto. (2005). Sistem Informasi: konsep, teknologi dan manajemen. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Lancaster, F.W. (1988). If you want to evalute your library... London: The Library Association.
Laudon, Kenneth C. dan Laudon, Jane Price. (1995). Information Systems: a problem solving approach. Forth Worth: Dryden Press.
Marchionini, Gary. (1995). Information Seeking in Electrinic Environments. Cambridge: Cambridge University Press.
Nurwono, Yuniarto. (1994). Manajemen Informasi Pendekatan Global. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Oetomo, Budi Sutejo Dharma. (2002). Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
OICT. (2005). Information Management – Framework Guidline. Department of Commence Australia www.oit.nsw.gov.au/content/2.3.12-IM-Audit.asp. 13/11/2005
Orna, Elizabeth. (1999). Practical Information Policies. Vermon: Gower.
Ramjaun, Ibrahim. (2000). The Information Audit: a tool for visionary organisations. PROSI Magazine. No. 379 (Agustus 2000). Hal. 1-7. Tersedia di http://www.ingentaconnect.com/content/routledg/epri/2003/00000012/00000004/art00006. Diakses tgl. 13 Juni 2006.
[u1]Cek dan lengkapi
RENCANA STRATEGIS DAN STANDAR COBIT
RENCANA STRATEGIS DAN STANDAR COBIT
UNTUK SISTEM INFORMASI PERPUSTAKAAN TERINTEGRASI
DALAM MEWUJUDKAN UNIVERSITAS BERTARAF INTERNASIONAL
Oleh:
Ade Abdul Hak
(Artikel ini sudah dipublikasikan di http://lib.ui.ac.id/files/Ade_Abdul_Hak.pdf sebagai pemenang juara harapan 1 lomba artikel yang di selenggarakan oleh perpustakaan pusat UI-Depok)
UNTUK SISTEM INFORMASI PERPUSTAKAAN TERINTEGRASI
DALAM MEWUJUDKAN UNIVERSITAS BERTARAF INTERNASIONAL
Oleh:
Ade Abdul Hak
(Artikel ini sudah dipublikasikan di http://lib.ui.ac.id/files/Ade_Abdul_Hak.pdf sebagai pemenang juara harapan 1 lomba artikel yang di selenggarakan oleh perpustakaan pusat UI-Depok)
A. Pendahuluan
Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kemajuan bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah mengubah cara hidup masyarakat dunia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Keberadaan dan peranan TIK di segala sektor kehidupan tanpa sadar telah membawa dunia memasuki era baru globalisasi lebih cepat dari yang dibayangkan semula. Hasilnya, informasi instant dapat diterima dan diikuti masyarakat di berbagai penjuru dunia. Dan, dalam waktu yang tidak terlalu lama, perubahan-perubahan yang terjadi pada tingkat global mempengaruhi masyarakat-masyarakat tersebut (Azra, 2004: 1).
Salah satu tonggak sejarah penting pada pergantian milenium ini adalah lenyapnya konsep jarak. Kemajuan dalam penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam berbagai bidang kehidupan menjadikan konsep jarak geografis menjadi tidak penting bagi mereka yang memiliki akses terhadap TIK. Siapapun yang terhubung dengan TIK dapat mengakses informasi yang berada di manapun dan berkomunikasi dengan siapapun di manapun dia berada dengan menggunakan internet. TIK mendorong perubahan mendasar dalam kehidupan sehari-hari manusia, termasuk dalam kegiatan belajar dan mengajar (Suparman dan Zuhairi, 2004: 9).
Dengan adanya perkembangan bidang TIK saat ini, nampaknya para pengelola mulai serius mentransformasikan perubahan paradigma baru ke dalam institusi mereka. Beberapa perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia secara umum telah mencoba mengoptimalkan pemanfaatan jaringan internet sebagai upaya perluasan dari pemanfaatan yang sudah dilakukan dengan menjadikan diseminasi dan akses informasi dalam jangkauan lebih luas dan terintegrasi. Sebagai konsekuensinya, perpustakaan tersebut harus mengganti perangkat lunak yang sudah ada yang masih menggunakan sistem basis data lokal (intranet) dengan software baru yang sudah memiliki sistem yang lebih luas (internet). Pada tahap ini, perpustakaan perguruan tinggi mencoba melakukan evolusi secara agresif untuk melakukan eksploitasi pengembangan teknologi informasi dalam menjangkau para pengguna atau calon pengguna di mana saja, kapan saja, 24 jam sehari, dan 7 hari seminggu. Bahasa populernya adalah bahwa di era globalisai, teknologi menawarkan perpustakaan untuk menembus batas ruang dan waktu.
Beberapa hasil lokakarya dan diskusi mengisyaratkan betapa pentingnya perubahan sistem ini sebagai pendukung pembelajaran dan komunikasi ilmiah menuju sebuah univeristas riset bertaraf internasional. Perubahan tersebut di satu sisi membawa dampak positif sebagai peluang bagi sebuah universitas untuk berkompetetif. Namun di sisi lain, satu hal yang perlu disadari adalah usaha menerapkan teknologi informasi semaksimal mungkin berarti harus mengubah pola pikir staf dan para pengguna perpustakaan yang biasanya punya rasa khawatiran yang cukup signifikan terhadap dampak perubahan tersebut. Mengubah pola pikir merupakan hal yang teramat sulit dilakukan, karena pada dasarnya “people do not like to change”. Kalau saat ini seorang kepala perpustakaan dan/atau para pengambil keputusan sudah memiliki komitmen khusus untuk merencanakan pengembangan sistem informasi perpustakaan terintegrasi, bagaimana dengan para staf dan pengguna perpustakaannya? Karena penerapan teknologi informasi (TI) ini memerlukan biaya yang cukup besar dan disertai resiko kegagalan yang tidak kecil, maka TI harus dikelola selayaknya aset perpustakaan lainnya. Penerapan TI di perpustakaan perguruan tingggi akan dapat dilakukan dengan baik apabila ditunjang dengan suatu pengelolaan TI (IT Governance) dari mulai perencanaan sampai implementasinya, dan pengelolaan TI yang akan diterapkan harus mengacu pada standar yang sudah mendapatkan pengakuan secara luas, seperti ISO 17799, COSO, ITIL dan COBIT.
B. Rencana Strategis Informasi
Dalam lingkungan perpustakaan era globalisasi sekarang ini, perencanaan merupakan hal yang lebih penting dan sangat diperhatikan dari pada yang terjadi sebelumnya. Teknologi telah berkembang dengan sangat cepat untuk memasukan layanan dan sistem yang lebih luas yang membuat sebuah perpustakaan untuk mengorganisir informasi yang diciptakan secara lokal dan akses informasi yang tersebar secara global. Penting sekali untuk mengembangkan perencanaan teknologi dasar sebagai tahap awal dalam mengidentifikasi sistem dan layanan mana yang paling baik untuk memenuhi kebutuhan pengguna dan memenuhi misi perpustakaan tersebut (Cohn, dkk., 2001: 1).
Perencanaan adalah proses di mana manajer secara matang dan bijaksana memikirkan dan menetapkan sasaran serta tindakan berdasarkan beberapa metode yang diperlukan untuk mencapainya, dan proses itu sendiri merupakan suatu cara sistematik yang ditetapkan untuk malakukan kegiatan. Dengan merujuk pada definisi di atas, maka manajemen berarti suatu proses yang menekankan keterlibatan dan aktivitas yang saling terkait untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan (Oetomo, 2002).
Stephanie, seperti yang dikutip Umar (2001: 31) dari Sukristono, mendefinisikan strategi sebagai suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai.
Sebagai sebuah institusi atau organisasi yang bergelut dalam bidang informasi, maka perpustakaan perlu merumuskan rencana strategis yang akan dituangkan dalam strategi informasi sesuai dengan visi dan misi organisasinya. Strategi informasi akan menjadi sebuah kebijakan informasi yang berisi tujuan, sasaran dan kegiatan-kegiatan yang akan dicapai dalam periode yang telah ditentukan. Tujuan utamanya adalah untuk mengelola, menerapkan, dan memelihara sumber-sumber informasi, serta mendukung basis pengetahuan organisasi yang penting dengan sistem dan teknologi yang tepat.
Elizabeth Orna dalam Practical Information Policies: how to manage information flow in organization, seperti yang dikutip Henczel (2001: 10) mendefinisikan manajemen informasi strategis atau strategi informasi sebagai berikut:
“..the detailed expression of information policy in terms of objectives, targets and actions to achieve them, for a defined period ahead. Information strategy provides the framework for management of information. Information strategy, contained within the framework of an organizational information policy for information and supported by appropriate systems and technology, is the ‘engine’ for:
- maintaning, managing and applying the organization’s information resources;
- supporting its essential knowledge base and all who contribute to it, with strategic intelligence, for achieving its key business objectives.”
Dalam hal ini strategi informasi merupakan pernyataan terinci mengenai kebijakan informasi yang berisi tujuan-tujuan, sasaran-sasaran dan tindakan-tindakan untuk dilaksanakan dalam periode ke depan yang telah ditentukan. Strategi informasi merupakan sebuah ‘alat’ yang diterapkan di dalam kerangka sebuah kebijakan informasi organisasi yang didukung oleh sistem dan teknologi yang tepat untuk keperluan: pemeliharaan, pengelolaan dan penerapan sumber-sumber informasi organisasi; mendukung basis pengetahuan yang pentingnya dan semua yang memberikan kontribusi terhadapnya, dengan intelegensi strategis, untuk mencapai tujuan-tujuan kegiatan utamanya.
Selanjutnya Orna (Henczel,2001: 11) menyatakan bahwa dasar sebuah strategi informasi adalah kebijakan informasi organisasi yang dapat menggambarkan:
· tujuan-tujuan penggunaan informasi dan prioritas-prioritasnya dalam organisasi.
· apa arti informasi dalam kontek organisasi bersangkutan sesuai dengan keperluan kegiatannya.
· prinsip-prinsip untuk mengelola informasi.
· prinsip-prinsip penggunaan sumber daya manusia dalam mengelola informasi.
· prinsip-prinsip penggunaan teknologi untuk mendukung manajemen organisasi.
· prinsip-prinsip yang akan menerapkan hubungan dalam menetapkan biaya dan efektivitas informasi dan pengetahuan.
Sebuah kebijakan informasi organisasi biasanya memberikan arahan baik bagi para pengelola maupun para pengguna informasi. Bagi para pengelola kebijakan informasi merupakan sebuah kerangka kerja yang berisi prinsip-prinsip organisasi yang berhubungan dengan informasi, penggunaannya dan pengelolaannya. Di antaranya menjamin pengalokasian sumber-sumber informasi penting dalam manajemen informasi. Sedangkan dari perspektif pengguna, kebijakan informasi merupakan sebuah jaminan bahwa organisasi mempunyai komitmen untuk menyediakan informasi yang dibutuhkannya (Henczel, 2001: 11).
Dengan demikian para kepala perpustakaan sebuah perguruan tinggi dan semua yang terlibat di dalamnya harus memahami dorongan-dorongan yang membuat perubahan ini terasa diperlukan dan betul-betul sangat diharapkan. Paling tidak dorongan-dorongan dan suasana lingkungan seperti ini harus dijelaskan kepada seluruh staf dan pengguna perpustakaan, karena hal ini akan mempengaruhi sikap para staf dan pengguna perpustakaan dikemudian hari. Bahkan akan lebih baik lagi jika mereka dapat berpartisipasi dalam mengelola perubahan dengan menggunakan suatu pendekatan strategis yang jelas.
Beberapa model manajemen strategis yang ada saat ini adalah model manajemen strategis dari Wheelen-Hunger, Fred R. David, dan Glen Baseman-Arvind Platak dengan beberapa elemen utamanya, antara lain:
a. Visi, Misi dan Falsafah.
Visi yang dimiliki oleh sebuah pergurun tinggi merupakan cita-cita tentang keadaan di masa datang yang diinginkan untuk terwujud oleh seluruh personilnya, mulai dari jenjang yang paling atas sampai paling bawah, bahkan pesuruh sekalipun. Sedangkan misi adalah penjabaran secara tertulis mengenai visi agar visi menjadi mudah dimengerti atau jelas bagi seluruh organisasi.
b. Analisis lingkungan eksternal dan internal.
Berdasarkan pemahaman lingkungan eksternal dan internal ini, hendaknya kelemahan dan kekuatan yang dimiliki organisasi dapat diketahui. Selain mengetahui kekuatan dan kelemahan, sebuah organisasi perlu juga mencermati peluang yang ada dan memanfaatkannya agar organisasi memiliki keunggulan kompetitif. Karena bila peluang ini tidak dimanfaatkan bisa saja berbalik menjadi ancaman bagi orgnisasi itu sendiri.
c. Analisis pilihan strategi.
Analisis pilihan strategi dapat dilakukan dengan cara mengelompokan strategi-strategi yang sudah umum diketahui, di mana strategi tersebut dapat diterapkan pada berbagai bentuk organisasi. Dari kelompok strategi generik ini akan dipilih salah satu kombinasi beberapa strategi induk dengan menggunakan cara-cara tertentu.
d. Sasaran jangka panjang.
Upaya pencapaian tujuan organisasi adalah suatu proses yang berkesinambungan yang memerlukan pentahapan. Untuk menentukan apakah suatu tahapan sudah dicapai atau belum, perlu dirumuskan secara jelas dengan angka-angka kuantitatif. Pembuatan jangka panjang ini mengacu kepada strategi induk yang telah ditetapkan sebelumnya.
e. Strategi fungsional.
Langkah penting implentasi strategi induk ini dilakukan dengan membagi-baginya ke dalam jangka waktu tahunan secara berkesinambungan dan dengan memperhatikan skala prioritas yang dapat diukur. Sasaran jangka pendek ini hendaknya mengacu pada strategi fungsional yang sifatnya operasional. (Umar, 2001: 19)
Secara khusus Gallacher (1996; 13) dalam Managing Change in Library and Infornation Service mengemukan bahwa yang harus dilakukan oleh kepala perpustakaan adalah mempertimbangkan lingkungan internal dan eksternalnya, karena hal ini mempunyai konsekuensi yang multi fungsional, antara lain mencakup:
§ Environmental analysis, yaitu proses mengkaji trend dan kondisi dalam lingkungan perpustakaan untuk mengidentifikasi hal-hal yang mendorongan kepada perubahan.
§ Political awarness, yaitu kepekaan terhadap kondisi dalam organisasi induk perpustakaan (universitas) dan pemahaman tentang posisi dan cakupan pengaruh di dalamnya.
§ Strategic vision, yaitu partisipasi dalam membuat keputusan ke mana perpustakaan akan diarahkan, mengapa dan bagaimana perpustakaan dapat mencapainya
Berhubungan dengan aspek-aspek internal dan eksternal yang harus dianalisis sebagai dasar pijakan pembuatan rekomendasi strategi yang diterapkan, Indrajit (2000: 33) menyebutkan bahwa:
Pertama, di dalam aspek internal, ada empat hal utama yang harus dianalisis, yaitu: 1). Struktur Organisasi—mempelajari fungsi-fungsi yang ada dalam organisasi dan bagaimana keterkaitan antar fungsi tersebut; 2). Proses dan Prosedur—mempelajari bagaimana proses dan prosedur penciptaan produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan secara mendatail; 3). SDM dan Budaya Perusahaan—mempelajari karkteristik manusia sebagai implementor sistem yang diterapkan perusahaan, terutama hal-hal yang melatarbelakangi terbentuknya budaya perusahaan; 4). Sumber daya dan Infrastruktur Perusahaan—mempelajari sumber-sumber daya yang dimiliki perusahaan, seperti aset keuangan, manusia, informasi, waktu dan sebagainya.
Kedua, di dalam aspek eksternal, ada dua faktor yang harus dipelajari: 1). Produk dan Jasa (Pelayanan), yang merupakan alasan mengapa sebuah perusahaan didirikan, karena penjualan produk dan jasa inilah pendapatan diperoleh untuk mendapatkan profit atau keuntungan; 2). Pasar dan Pelanggan, yang merupakan kumpulan dari para calon pembeli produk dan jasa yang ditawarkan.
Cohn (2001:1) menyimpulkan bahwa rencana strategis memfokuskan pada kegiatan: 1). Mengidentifikasi kunci isu-isu lingkungan yang mempengaruhi perpustakaan—sebagai contoh, prakarsa dalam organisasi induk (untuk menjadi universitas riset bertaraf internasional) atau ketersediaan teknologi baru sebagai strategi perpustakaan tersebut dalam merespon isu-isu ini; 2). Mendefinisikan visi layanan yang menggambarkan tujuan akhir dengan tetap menyediakan fleksibilitas dalam menerima hasil ahkir ini. Selanjutnya dalam pengembangan sebuah rencana teknologi dasar harus melibatkan delapan tahapan, antara lain:
1. meninjau keberadaan teknologi dan layanan-layanan yang ada.
2. meninjau kebutuhan lingkungan dan pengguna
3. menentukan prioritas
4. mengembangkan misi, visi, dan tujuan untuk dilaksanakan
5. mengembangkan proposal anggaran untuk menerapkan rencana yang telah dibuat
6. mengevaluasi hasil yang telah dicapai
7. mendefinisikan kembali prioritas, jika perlu
8. meng-update dan merevisi rencana (Cohn, 2001; 2).
C. Sistem Informasi Perpustakaan Terintegrasi
Dalam teori organisasi modern, perusahan yang ingin berkembang saat ini harus mengubah filosofi cara memandang aktivitas internal perusahaan, dari yang berbasis hierarki (atau fungsional) untuk keperluan manajemen internal, menjadi berbasis proses yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Salah satu strategi perubahan yang mendukung proses tersebut adalah “internal integration”, yaitu jenis strategi perubahan yang tujuan utamanya untuk melakukan integrasi antara fungsi-fungsi atau departemen-departemen yang ada dalam perusahaan (Indrajit, 2000: 28).
Selanjutnya Indrajit (2000: 29) mengemukakan bahwa tiga hal pokok yang perlu dipahami secara menyeluruh apa yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan untuk menghasilkan sebuah sistem informasi terintegrasi yang baik adalah:
Pertama, sistem informasi, merupakan definisi secara jelas dan terperinci sehubungan dengan jenis-jenis informasi apa saja yang dibutuhkan oleh perusahaan (dalam hal ini perpustakaan) dan hal-hal yang berkaitan dengan (kecepatan proses pengolahan data menjadi informasi, tingkatan detail informasi, cara penampilan informasi, volume dan transaksi informasi, penanggung jawab informasi, dsb.)
Kedua, teknologi informasi, meliputi komponen-komponen perangkat keras (komputer, infrastruktur, alat komunikasi, dan lain-lain) dan perangkat lunak (aplikasi, sistem operasi, database, dan lain-lain) yang harus tersedia untuk menghasilkan sistem informasi yang telah didefinisikan.
Ketiga, manajemen informasi, menyangkut perangkat manusia (brainware) yang akan menginplementasikan sistem informasi yang dibangun dan mengembangkan teknologi informasi sejalan dengan perkembangan perusahan (institusi) di masa mendatang.
Sebelum berbicara mengenai gambaran sistem perpustakaan terintegrasi, secara mendasar Lancaster (1988: 2) membagi kegiatan-kegiatan yang ada di perpustakaan itu menjadi dua kelompok seperti yang digambarkan dalam diagram berikut ini. Kegiatan pertama berhubungan dengan organisasi dan pengawasan sumber-sumber informasi. Kegiatan-kegiatan ini berupa layanan teknis yang menghasilkan berbagai macam alat bantu (katalog, bibliografi, klasifikasi rak, dan sejenisnya) yang akan membantu kegiatan kelompok keduanya, yaitu layanan publik. Layanan publik kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok: demand service dan notification service. Layanan yang pertama bersifat pasif menunggu respon atas permintaan para pengguna, sedangkan yang kedua lebih dinamis dengan mencoba mendisain layanan untuk di informasikan kepada para pengguna sehingga menjadi tertarik.
Gambar 1. Operasional sebuah perpustakaan (Lancaster,1988)
Dengan adanya perkembangan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, pekerjaan sekarang yang sedang berlangsung adalah menghadirkan sistem otomasi perpustakaan terintegrasi, termasuk jaringan dan teknologi bidang elektronik dalam mewujudkan perpustakaan modern. Tiwari (2002) menjelaskan bahwa yang menjadi fokus dalam otomasi perpustakaan dewasa ini adalah sistem, sumber informasi dan pengguna yang terkoneksi, dimana perkembangan komputer akan diikuti dengan perkembangan dalam penggunaan jaringan dan internet. Sistem manajemen perpustakaan terintegrasi akan menerapkan modul-modul standar seperti sirkulasi, pengkatalogan, pengadaan, akses katalog online dan jaringan kerjasama melalaui fasilitas internet.
Cohn dkk. (2001: xi) mendefinisikan bahwa “an integrataed system” as one that computerizes a multiplicity of library functions using one common database. Sejalan dengan definisi ini, Clayton dan Batt (1992: 55) menjelaskan bahwa:
“More recently system designers have begun to emphasize the advantages of an integrated approach to automations: that is, a common database processed by applications programs which perform a range of technical support functions including acquisations, cataloguing, circulation, serials control and online public access catalogues. ... The establishment of an integrated system in which all functions share one database eliminates or reduces data redudancy and therefore improves efficiency and can reduce cost.”
Pernyataan tersebut memberikan sebuah gambaran bahwa desain sistem yang sedang berkembang akhir-akhir ini lebih menekankan pada manfaat pendekataan otomasi terintegrasi. Otomasi terintegrasi memanfaatkan sebuah basis data dan program aplikasi yang mendukung pelaksanaan fungsi-fungsi teknis: pengadaan, sirkulasi, pengawasan serial dan katalog yang dapat diakses secara online, dan sistem terintegrasi dengan basis data tunggal ini akan mengurangi duplikasi data sehingga dapat meningkatkan efesiensi dan mengurangi pemborosan.
Pernyataan tersebut sama halnya dengan yang di ungkapkan Lopata (1995), bahwa sistem perpustakaan terintegrasi mempunyai beberapa kelebihan daripada sistem yang tidak menerapkannya, antara lain:
1. Duplikasi cantuman-cantuman bibliografi akan terkurangi.
2. Keselahan-kesalahan pemasukan data atau perubahannya akan berkurang.
3. Para staf dan pengguna perpustakaan dapat mengakses semua informasi yang saling berhubungan dari sebuah lokasi.
Modul-modul dasar sistem informasi perpustakaan seperti yang dijelaskan Tiwari dan Cohn di atas, paling tidak terdiri dari: fungsi pengadaan, pengatalogan (pengolahan), sirkulasi, pengawasan serial, dan penelusuran katalog online. Jeniffer Rowley (1998: 313) menyatakan bahwa fokus sistem informasi manajemen perpustakaan adalah untuk mendukung layanan secara efektif bagi pengguna, manajemen pengadaannya, dan secara umum manajemen layanan-layanan yang diberikan oleh perpustakaan dan badan-badan lainnya yang menyelenggarakan akses terhadap koleksi-koleksi dokumen. Sistem tersebut paling tidak harus mendukung:
1. Pemesanan dan pengadaan (mencakup kegitan: pemesanan; penerimaan; penolakan; penghitungan keuangan; enquires status pemesanan; laporan dan statistik pengaadaan).
2. Pengatalogan (meliputi: entri data; kontrol kepengarangan; downloading rekod dari basis data lain).
3. OPAC atau bentuk katalog lainnya (meliputi: akses secara online; antarmuka akses secara umum; bentuk katalog lainnya; akses internet; akses dari pengguna jauh melalui internet).
4. Kontrol sirkulasi (meliputi: parameter-parameter tentang kebijakan peminjaman, waktu buka layanan dll.; peminjaman; waktu pengembalian; perpanjangan; denda; pemeliharaan; peminjaman jangka pendek; pemeliharaan berkas peminjam, enqiuries yang berhubungan dengan para peminjam atau status dari tiap itemnya; surat peringatan; laporan dan statistik penggunaan koleksi yang ada).
Pengembangan sistem informasi perpustakaan yang dilakukan secara terpisah tersebut, sudah dikembangkan menjadi sistem yang terintegrasi yang didasarkan pada arsitektur basis data yang saling berhubungan. Adapun fungsi dasar dari sistem informasi perpustakaan terintegrasi ini dapat kita lihat dari penjelasan Cohn dkk. (2001:7), yaitu:
1. Menyediakan penelusuran pada isi sumber-sumber lokal (seperti, buku, serial, media, sumber-sumber elektronik) yang merupakan bagian dari koleksi perpustakaan itu.
2. Sebagai pintu gerbang atau portal yang mengarahkan kepada sumber-sumber online lainnya (seperti, buku, serial, media, sumber-sumber elektronik), termasuk di dalamnya kemampuan untuk menemukan copian dalam format tercetak atau elektronik.
3. Memfasilitasi “off-site” penelusuran elektronik secara lokal dan mengarahkan terhadap sumber-sumber dari rumah, kantor atau sekolah para pengguna.
4. Menyediakan pendampingan penelusuran dalam menemukan informasi.
D. Peluang Bagi Sebuah Universitas
Penyediaan sarana dan prasarana untuk memenuhi students needs, student interest, dan student welfare, seperti sistem informasi terintegrasi perpustakaan ini, dapat memiliki daya tarik bagi para mahasiswa, terutama tingkat magister dan doktor dari berbagai penjuru dunia. Sebagai universitas riset yang memiliki orientasi internasional diharapkan keberadaan perpustakaan yang terintegrasi ini dapat menciptakan academic and socil exchange, dan sekaligus komunitas yang pada gilirannya membentuk intelectual community dan learning society (UIN Jakarta, 2003: 10).
Globalisasi yang ditandai kemajuan-kemajuan penting dalam teknologi informasi dan komunikasi, mendorong terjadinya pula perubahan-perubahan dalam pembelajaran. Guru atau tenaga pengajar kini tidak lagi merupakan satu-satunya sumber belajar dalam proses pembelajaran. Teknologi komunikasi dan informasi yang kini ada dan juga yang akan terus berkembang semakin memungkinkan peserta didik untuk mengakses sendiri beragam sumber belajar (Azra, 2004: 2). Persoalan yang muncul adalah bukan pada bagaimana mencari informasi (sumber belajar), tapi bagaimana menyaring, mengolah, dan menggunakan informasi tersebut. Dunia pendidikan perlu mengubah paradigma berpikirnya dari konsep siswa (mahasiswa) sebagai objek menjadi subyek pembelajaran. Tugas pendidikan adalah membantu mahasiswa dalam ”proses menjadi dirinya sendiri”. Untuk itulah mahasiswa perlu diberikan bekal dan kemampuan untuk menciptakan pengetahuan yang berguna bagi hidupnya kelak (Purwanto, 2004: 15)
Dengan adanya paradigma baru tersebut, sudah selayaknya bagi universitas menyediakan perpustakaan terintegrasi yang memberikan keleluasaan bagi para mahasiswa untuk menggali potensi dirinya. Salah satu contoh peran perpustakaan terintegrasi dalam pendidikan jarak jauh (PJJ), karena ia menggantikan peran dan fungsi pendidikan sebagaimana dalam pendidikan tatap muka. Perkembangan mutakhir dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memberikan peluang bagi perpustakaan perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa yang beragam. Teknologi dimanfaatkan untuk meningkatkan akses, memperbaiki kualitas, mengurangi biaya, dan meningkatkan efektivitas pendidikan tinggi. Bagi mahasiswa, pemanfaatan teknologi berdampak positif pada keluwesan dalam memilih metode belajar. Proses pembelajaran berbasis teknologi menghendaki sekaligus membantu mahasiswa mengenal memanfaatkan teknologi yang tersedia.
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), perbedaan fleksibelitas pembelajaran antara pendidikan jarak jauh (PJJ) dan tatap muka menjadi makin tipis. Yang tersisa hanyalah terpisahnya mahasiswa dengan pengajar pada PJJ, sedangkan dalam pendidikan tatap muka berada dalam ruang belajar yang sama dengan jadwal pertemuan yang terikat yang ditentukan pengelola pendidikan. Metode pembelajaran jarak jauh dan TIK diperkuat dengan strategi pembelajaran kelas sehingga menciptakan suatu lingkungan baru berupa sistem belajar yang fleksibel. Banyak institusi pendidikan berupaya melembagakan program belajar yang fleksibel sebagai strategi pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan pengguna. Cepat atau lambat perubahan ini mempengaruhi pendidikan tinggi di seluruh dunia, sehingga PJJ menjadi alternatif strategi pembelajaran baru untuk menjamin keberlanjutan suatu institusi pendidikan tinggi (Suparman, 2004: 9).
Untuk itu sudah tidak diragukan lagi bahwa perencanaan strategis sistem informasi perpustakaan terintegrasi bagi sebuah universitas sangatlah penting. Kathy Ennis (2000: 4), dalam bukunya Guideline for Learning Resource and Services in Further and Higher Education: performance and resources, menjelaskan bahwa perpustakaan sebagai sebuah layanan sumber pembelajaran mempunyai peranan yang saling terintegrasi dalam menyediakan pembelajaran yang efektif, di antaranya:
1. Penentuan dan penafsiran tentang informasi, pengetahuan dan sumber-sumber untuk mendukung pembelajaran.
2. Penyediaan fasilitas dan lingkungan yang sesuai agar mahasiswa dapat belajar sesuai dengan apa yang dibutuhkannya dalam waktu yang tepat, baik untuk kepentingan individu maupun kelompok.
3. Menentukan dan memberikan program-program keterampilan informasi.
4. Menyediakan fasilitas dan bahan-bahan yang mendukung staf akademik dalam menyampaikan kurikulum.
5. Menyediakan informasi dan bahan-bahan untuk membantu manajer senior dalam membuat keputusan (kebijakan informasi) yang berhubungan dengan institusi secara keseluruhan.
Andrew McDonald mempertegas peranan tersebut dengan memberikan penjelasan bahwa:
“The important of libraries should be emphasized in learning and teaching strategies developed by our college and universities. We actively facilitate all types of learning curriculum-related learning; independent learning; group learning; and distributed learning. Uniqely, the ‘hybrid’ library provides access to collection, PCs and electronic resources, study places and supportive staff. We teach the core information skill necessary for academic work and learning throughout life. We are the ‘hub’ for distributing services off campus. We are commited to promoting literacy and IT literacy” (Ennis, 2000: 4).
Hal ini berarti akan sangat penting bila peranan perpustakaan untuk dicanangkan dalam strategi belajar dan pengajaran yang dikembangkan oleh civitas akademiknya, dengan cara memfasilitasi macam-macam kegiatan pembelajaran, seperti: pembelajaran berbasis kurikulum, pembelajaran mandiri, pembelajaran kelompok, dll. Perpustakaan mempunyai tugas untuk menyediakan akses terhadap koleksi atau sumber-sumber informasi baik tercetak maupun elektronik dengan bantuan staf yang handal. Selain itu juga perpustakaan harus dapat memberikan keterampilan informasi untuk kegiatan pembelajaran tersebut dengan cara memberikan pelatihan “melek informasi dan teknologi informasi”.
E. Standar Kinerja Teknologi Informasi
Melihat pentingnya peranan tenologi informasi, maka harus ada suatu mekanisme yang dapat mengukur kinerja perangkat teknologi tersebut. Salah satu cara atau metode yang dapat dipakai adalah dengan menggunakan konsep information technology scorecard (balanced scorecards untuk kinerja teknologi informasi). Sama seperti halnya dalam balanced scorecards untuk bisnis, pada balanced scorecards untuk kinerja teknologi informasi terdapat 4 akses kinerja yang harus diukur, masing-masing adalah:
1. User Orientation, untuk mengukur kepuasan para pengguna terhadap kinerja divisi teknologi informasi yang bertanggung jawab dalam menyediakan perangkat teknologi.
2. Corporate Contribution, untuk mengukur seberapa jauh keberadaan teknologi dapat mendukung kebutuhan perusahaan.
3. Operational Excellence, untuk mengukur tingkat efisiensi dan efektivitas proses terkait dengan manajemen atau pengelolaan teknologi informasi.
4. Future Orientation, untuk mengukur seberapa jauh teknologi informasi dapat memberikan kontribusi terhadap tantangan bisnis masa depan (Indrajit, 2005: 250).
Selanjutnya Indrajit (2005: 252) menjelaskan bahwa konsep tata kelola teknologi informasi yang dibutuhkan seperti di atas, kerap diistilahkan dengan IT Governance (information technolgy governance) yang diberi nama COBIT (Control Objective for Information and related Technology) yang telah terbukti berhasil diterapkan oleh berbagai perusahaan besar di dunia.
IT Governance bukan bidang yang terpisah, melainkan merupakan komponen dari pengelolaan perusahaan secara keseluruhan, dengan tanggung jawab utama:
1. Memastikan kepentingan stakeholder diikutsertakan dalam menyusun strategi perusahaan.
2. Memberikan arahan kepada proses-proses yang menerapkan strategi perusahaan.
3. Memastikan proses-proses tersebut menghasilkan keluaran yang terukur.
4. Memastikan adanya informasi mengenai hasil yang diperoleh dan mengukurnya.
5. Memastikan keluaran yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan (Sadrah dan Surendo, 2005: 459).
Untuk itu sebagai sebuah orgnisasi yang berorientasi internasional, maka sudah selayaknya penerapan TI di dunia perpustakaan perguruan tunggi pun harus mengacu pada standar yang sudah mendapatkan pengakuan secara internasional ini. Suratman dan Surendo (2005: 467) mengemukan COBIT merupakan model standar pengelolaan IT yang dapat dijadikan sebagai tools dalam membuat model pengelolaan IT yang terdiri dari kumpulan 318 aktivitas, 34 proses IT dan 4 domain pengelolaan IT, yaitu: Planning & Organization, Acquisition & Implementaion, Delivery & Support, dan Monitoring.
Gambar 2. Kerangka COBIT (IT Governance Institut, 2005: 24)
F. Kesimpulan
Kemajuan dalam teknologi informasi dan komunikasi dan bebasnya arus lalu lintas informasi memungkinkan penerapan belajar yang fleksibelitas di lingkungan perguruan tinggi. Penerapan teknologi informasi dalam sistem informasi perpustakaan terintegrasi dapat merubah cara belajar mahasiswa yang semula hanya berorientasi pada pengajar menjadi resource-based learning. Tentunya hal ini harus dipersiapkan dengan rencana matang sesuai dengan tata kelola teknologi informasi berstandar internasional yang akan tertuang dalam strategi informasi perpustakaan dan lembaga induknya.
Beberapa hal yang penting dalam rencana strategis ini adalah agar dapat mengantisipasi peluang dan tantangan baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Di antaranya adalah merubah paradigma semua civitas akademik dengan cara memberikan wawasan dan keterampilan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Sehingga manfaat penerapan teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan perpustakaan perguruan tinggi ini akan lebih berarti dalam menunjang proses pembelajaran, yang akhirnya akan membentuk pribadi lulusan perguruan tinggi yang berwawasan internasional.
G. Bahan Bacaan
Azra, Azyumardi. Pergeseran Paradigma Pembelajaran dalam Menghadapi Persaingan Global. Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran Menghadapi Tantangan Daya Saing SDM Nasional dan Internasional. Auditorium Depdiknas, 1-2 Desember 2004.
Cohn, John M.,dkk. Planning for integrated systems and technologies: a how-to-do-it manual for librarians. New York: Neal-Schuman Publisher, Inc., 2001.
Ennis, Kathy. Guideline for Learning Resource and Services in Further and Higher Education: performance and resources. London: Library Association Publishing, 2000.
Gallacher, Cathryn. Managing change in library and information services. London: ASLIB-IMI, 1996.
Henczel, Susan. The information audit: a practical guide. Munchen: Saur, 2001.
Indrajit, Richardus Eko. Pengantar konsep dasar manajemen sistem informasi dan teknologi informasi. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000.
___________________. Integgrasi Porses Bisnis Korporat dengan Teknik Pengukuran Kinerja Sistem dan Teknologi Informasi (Implementasi Manajemen Resiko dengan Menggunakan COBIT). Dalam Sistem informasi: berbagai makalah tentang sistem informasi perfektif manusia dan sistem informasi, orgnisasi dan sistem informasi, teknologi sistem informasi yang disampaikan dalam Konferensi Nasional Sistem Informasi 2005 di Institut Teknologi Bandung. Bandung: Informatika Bandung, 2005.
IT Governance Institut. COBIT ver.4.0: Control Objectives Mangement Guidelines Maturity Models. Rolling Meadow: IT Gonernance Institut, 2005. Tersedia di http://www.itgi.org/. Diakses tanggal 24 April 2006.
Lancaster, F.W. If you want to evalute your library... London: The Library Association, 1988.
Lopata, Cynthia L. Integrated Library Systems. ERIC Digest. (1995). Tersedia di http://www.vmcsatellite.com/?aid=51733. Diakses tanggal 2 April 2006.
Oetomo, Budi Sutejo Dharmo. Perencanaan dan pengembangan sistem informasi. Yogyakarta, Andi, 2002.
Purwanto, Agus Joko. Memandang dengan Mata Baru. Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran Menghadapi Tantangan Daya Saing SDM Nasional dan Internasional. Auditorium Depdiknas, 1-2 Desember 2004.
Rowley, Jennifer. The Electronic Library: information technology, information retrieval, library management systems. London: Library Association Publishing, 1998.
Sadrah, Roni dan Kridanto Surendro. Analisa Kebutuhan Pengelolaan Teknologi Informasi di BUMN X dengan Menggunakan Framework COBIT Domain PO dan AI. Dalam Sistem Informasi: berbagai makalah tentang sistem informasi perfektif manusia dan sistem informasi, orgnisasi dan sistem informasi, teknologi sistem informasi yang disampaikan dalam Konferensi Nasional Sistem Informasi 2005 di Institut Teknologi Bandung. Bandung: Informatika Bandung, 2005.
Suparman, Atwi dan Zuhairi, Amin. Penerapan e-administration di Universitas Terbuka: tantangan dan prospek. Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran Menghadapi Tantangan Daya Saing SDM Nasional dan Internasional. Auditorium Depdiknas, 1-2 Desember 2004.
Suratman, Aswin dan Kridanto Surendo. Analisa kebutuhan Pengelolaan Teknologi Informasi dengan menggunakan COBIT Framework Domain Delivery & Support dan Monitoring (Studi Kasus PT X). Dalam Sistem Informasi: berbagai makalah tentang sistem informasi perfektif manusia dan sistem informasi, orgnisasi dan sistem informasi, teknologi sistem informasi yang disampaikan dalam Konferensi Nasional Sistem Informasi 2005 di Institut Teknologi Bandung. Bandung: Informatika Bandung, 2005.
UIN Jakarta. Garis-Garis Besar Rencana Strategis Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Menuju Universitas Riset Tahun 2007. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003.
Umar, Husein. Strategic management in action: konsep, teori, dan teknik menganalisa manajemen strategis strategic business unit berdasarkan konsep michael R. David, dan Wheelen-Hunger. Jakarta: Gramedia, 2002.
Langganan:
Postingan (Atom)